Archives

Perang Dzat ar-Riqa’ (Tahun Ke-4 H)

Jumat, 08 April 2011


Setelah pengusiran Bani an-Nadhir, Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Rabi’ul Akhir dan sebagian Jumadil Ula. Setelah itu beliau berangkat ke Nejed untuk menyerang Bani Muharib dan Bani Tsa’labah dan Ghathafan. Beliau menunjuk Abu Dzar al-Ghifary sebagai imam sementara di Madinah. Rasulullah berjalan hingga tiba di Nakhl [Nama sebuah tempat di Nejed di wilayah Athfaan] . Di sanalah terjadi perang Dzat ar-Riqa’ [Disebut Dzat ar-Riqa' karena mereka mengoyak bendera mereka. Ada yang mengatakan bahwa Dzaatur Riqa' adalah nama sebuah pohon di sana. Ada pula yang mengatakan disebut Dzat Riqa' karena batu-batuan mengoyak tapak kaki mereka, sehingga koyak, lalu disebut dengan Dzat Riqa'] . Maka bertemulah dua pasukan besar. Kedua belah pihak saling mendekat, namun tidak terjadi pertem-puran antara keduanya, karena masing-masing pihak merasa takut, hingga Rasulullah mengerjakan shalat Khauf bersama para sahabat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA., ia berkata, “Aku keluar bersama Rasulullah pada perang Dzat ar-Riqa’, dari Nakhl dengan mengendarai seekor unta yang lemah. Ketika Rasulullah kembali dari perang Dzat ar-Riqa’, teman-temanku dapat berjalan dengan lancar, sementara aku tertinggal di belakang hingga beliau menyusulku. Beliau bersabda kepadaku, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir.?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan.” Beliau bersabda, “Suruh ia duduk!” Aku mendudukkan untaku dan beliau juga mendudukkan untanya. Setelah itu beliau bersabda, “Berikan tongkatmu kepadaku!” Atau beliau bersabda: “Potongkan sebuah tongkat untukku dari pohon itu.”

Lalu aku pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW., dan beliau mengambil tongkat yang dimintanya. Beliau menusuk lambung untaku beberapa kali kemudian bersabda, “Naikilah untamu!” Aku segera menaikinya.

Demi Allah yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip unta beliau. Kami bercakap-cakap, kemudian beliau bersabda, “Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual untamu kepadaku?” Aku menjawab, “Tidak wahai Rasulullah, namun aku akan menghibahkannya kepadamu.” Beliau bersabda, “Juallah untamu ini kepadaku!” Aku menjawab, “Kalau begitu, hargailah untaku ini.!” Beliau bersabda, “Bagaimana kalau satu dirham.?” Aku menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah, kalau harganya seperti itu, engkau merugikanku.” Beliau bersabda, “Dua dirham.?” Aku menjawab, “Aku tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah.”

Beliau terus menaikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu uqiyah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan harga itu.?” Beliau menjawab, "Ya." Aku berkata: “Kalau begitu unta ini menjadi milikmu.” “Ya, aku telah terima” jawab beliau lalu bersabda, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah.?” “Sudah, wahai Rasulullah,” Jawabku. Beliau bertanya, “Dengan gadis ataukah janda.?” “Dengan janda,” Jawabku. Beliau bersabda, “Kenapa engkau tidak menikahi seorang gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia bisa bercanda denganmu.?” Aku menjawab, “Ayahku gugur di perang Uhud dan meninggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan mengasuh mereka.” Beliau bersabda, “Engkau benar, insya Allah. Bagaimana jika telah tiba di Shirar [Sebuah tempat kira-kira 3 mil dari kota Madinah] nanti aku perintahkan penyiapan unta untuk disem-belih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari tersebut hing-ga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia melepaskan bantalnya?”

“Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau bersabda, “Engkau akan memilikinya insya Allah. Karena itu, jika eng-kau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang cerdik.”

Setibanya di Shirar, Rasulullah SAW., memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan unta dan kemudian disembelih. Kami mengadakan jamuan makan pada hari itu. Pada sore hari, beliau masuk ke rumah, dan kami pun masuk ke rumah kami. Aku ceritakan kisah ini dan sabda Rasulullah kepada istriku. Istriku berkata, “Lakukanlah itu, dengar dan taatlah.” Esok paginya aku membawa untaku, menuntun dan menduduk-kannya di depan pintu masjid Rasulullah, kemudian aku duduk di dekat masjid. Ketika beliau keluar dan melihatnya, beliau bersabda, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini unta yang dibawa Jabir.” Beliau bersabda, “Di mana Jabir?” Aku pun dipanggil, kemudian beliau bersabda, “Wahai anak saudaraku, ambillah untamu, karena ia menjadi milikmu!” Beliau memanggil Bilal dan bersabda kepadanya, “Pergilah bersama Jabir, dan berikan kepadanya uang satu uqiyah!” Aku pergi bersama Bilal, dan kemudian ia memberiku uang satu uqiyah dan memberi sedikit tambahan kepadaku. Demi Allah, pemberian beliau tesebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya di rumahku hingga aku mendapat musibah di perang al-Harrah belum lama ini.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia berkata, ‘Kami keluar bersama Rasulullah di perang Dzât ar-Riqâ’ dari Nakhl. Salah seorang dari sahabat nabi melukai seorang istri dari kaum musyrikin. Ketika Rasulullah telah kembali ke Madinah, datanglah suami wanita tersebut. Setelah dikabarkan kepadanya apa yang terjadi, ia bersumpah tidak akan kembali hingga bisa menumpahkan darah sahabat-sahabat nabi. Orang itu berjalan menelusuri jejak Rasulullah. Ketika sampai di suatu tempat, Rasulullah singgah di sana dan bersabda, “Siapa yang bersedia berjaga malam ini?” Seorang sahabat Anshar dan seorang sahabat Muhajirin berkata, “Kami siap melakukan penjagaan, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau bersabda kepada keduanya, “Hendaklah kalian berdua berjaga-jaga di mulut jalan ini!” Ketika keduanya telah berada di mulut jalan, sahabat Anshar itu berkata kepada sahabat Muhajirin, "Kapan engkau lebih senang berjaga, awal malam atau akhir malam?" Sahabat Muhajirin itu menjawab, "Jagalah aku di awal malam!"

Setelah itu ia pun tidur, sementara sahabat Anshar berjaga sambil berdiri mengerjakan shalat. Ketika itu datanglah suami wanita kaum musyrikin tersebut. Melihat kedua orang sahabat Rasulullah, tahulah ia bahwa mereka bertugas mengintai musuh. Ia segera melempar panah hingga mengenai sahabat yang sedang shalat, namun sahabat tersebut mencabutnya dan tetap berdiri tegak. Orang musyrik itu kembali melem-par panah. Namun sahabat Anshar itu mencabutnya dan tetap berdiri kokoh. Orang musyrik itu kembali melempar panah. Sahabat itu menca-butnya lalu ruku', sujud dan membangunkan sahabatnya lalu berkata: "Bangunlah, sungguh aku terluka parah!" Sahabat Muhajirin itu segera bangun, dan ketika keduanya melihat orang musyrik itu, ia segera sadar bahwa keberadaan dirinya telah diketahui lalu ia melarikan diri. Melihat darah mengalir di tubuh sahabatnya, sahabat Muhajirin itu berkata, "Subhânallâh, mengapa engkau tidak membangunkanku saat orang musyrik itu melemparmu dengan panah?" Sahabat Anshar itu menjawab, "Saat itu aku sedang membaca sebuah ayat al-Qur'an, dan aku tidak ingin memotongnya hingga aku menyelesaikan bacaannya. Ketika anak panah terus menerus mengenaiku, aku pun ruku' dan membangunkanmu. Demi Allah, kalaulah bukan karena khawatir melalaikan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah yang harus kulaksanakan, niscaya orang musyrik itu pasti membunuhku sebelum aku menyelesaikan bacaanku."

Ibnu Ishaq berkata, "Setibanya dari perang Dzat ar-Riqa', Rasulullah menetap di Madinah pada sisa bulan Jumadil Ula, Jumadil Akhir dan Rajab."

Pengusiran Bani an-Nadhir (Tahun Ke-4 H)


Kemudian Rasulullah pergi ke kampung Bani an-Nadhir guna me-minta bantuan mereka untuk membayar diyat kedua korban dari Bani Amir yang dibunuh oleh ‘Amru bin Umayyah, karena keduanya berada di bawah perlindungan Rasulullah. Antara Bani an-Nadhir dan Bani Amir terikat persekutuan dan perjanjian. Ketika Rasulullah SAW., tiba di kampung Bani an-Nadhir, mereka berkata, “Wahai Abul Qasim, kami siap membantumu, apa yang engkau inginkan dari kami?”

Kemudian orang-orang Bani an-Nadhir berkumpul sesama mereka. Mereka berkata, “Sesungguhnya kalian tidak akan mendapati laki-laki ini seperti keadaannya sekarang ini!” Ketika itu Rasulullah sedang duduk di samping rumah mereka. Mereka berkata, “Siapakah di antara kalian yang bersedia naik ke atas rumah dan menjatuhkan batu besar ke atasnya sehingga kita bebas darinya?” Amru bin Jihhasy bin Ka’ab menyanggupi tugas tersebut. Ia berkata, “Aku siap melakukannya!” Setelah menyang-gupinya ia naik ke atas rumah untuk menjatuhkan batu besar ke atas kepala Rasulullah. Ketika itu Rasulullah bersama beberapa dari sahabat beliau, di antaranya Abu Bakar, Umar dan Ali RA.

Saat itu pula Rasulullah SAW., menerima wahyu dari langit tentang apa yang akan diperbuat orang-orang Bani an-Nadhir. Karena itulah beliau segera pulang ke Madinah. Ketika Rasulullah terlambat pulang, para sahabat berusaha mencari beliau. Dalam pencariannya mereka bertemu dengan seseorang yang baru datang dari Madinah. Lalu mereka menanya-kan kepadanya perihal Rasulullah. Orang tersebut menjawab, “Aku lihat beliau telah memasuki Madinah.” Para sahabat segera pulang hingga tiba di tempat Rasulullah, kemudian beliau menjelaskan kepada mereka ten-tang rencana orang-orang Yahudi yang ingin membunuh beliau.

Setelah itu Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk bersiap-siap memerangi dan menyerang mereka. Rasulullah berangkat bersama para sahabat hingga tiba di tempat mereka. Orang-orang Bani an-Nadhir berlindung dari serangan Rasulullah di balik benteng-benteng. Rasulullah memerintahkan pasukan untuk menebang pohon-pohon kurma lalu membakarnya. Orang-orang Bani An-Nadhir berteriak, “Hai Muhammad, engkau pernah melarang manusia berbuat kerusakan, dan mengecam orang yang mela-kukannya. Mengapa sekarang engkau menebang pohon kurma dan mem-bakarnya?” Ketika itu, beberapa orang dari Bani Auf bin al-Khazraj, di antaranya Abdullah bin Ubay bin Salul, Wadi’ah, Malik bin Abi Qauqal, Suwaid, dan Da’is pergi kepada orang-orang Bani an-Nadhir dan berkata kepada mereka, “Hendaknya kalian tetap bertahan dan berlindung, karena kami tidak akan menyerahkan kalian. Jika kalian diperangi, kami akan berperang bersama kalian. Dan jika kalian diusir, kami akan keluar ber-sama kalian. Oleh karena itu, tunggulah kemenangan kalian.” Mereka berkata demikian, namun tidak menepatinya.

Kemudian Allah Ta’ala memasukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Bani an-Nadhir, hingga mereka meminta Rasulullah mengusir mereka dan melindungi darah mereka, dengan syarat mereka diizinkan membawa harta-benda mereka yang bisa dibawa kecuali senjata. Rasulullah mengabulkan permintaan mereka. Setelah itu mereka mengambil kekayaan mereka yang bisa diangkut dengan unta. Di antara mereka ada yang meruntuhkan rumahnya mulai dari pintu depan rumah lalu meletakkannya di atas unta dan membawanya pergi. Mereka menuju ke Khaibar, dan sebagian lainnya menuju ke Syam. Pemimpin mereka yang menuju Khaibar di antaranya adalah Sallam bin Abi al-Haqiq, Kinanah bin ar-Rabi’ bin Abi al-Haqiq, dan Huyai bin Akhthab. Sesampainya di Khaibar, mereka mendapat dukungan dari penduduk setempat.

Abdullah bin Abi Bakar berkata kepadaku bahwa orang-orang Bani An-Nadhir pergi dengan membawa kaum wanita dan anak-anak, harta kekayaan, rebana, seruling dan para penyanyi wanita yang bernyanyi di belakang mereka. Diantara mereka terdapat Ummu Amru, bekas budak wanita Urwah bin al-Ward al-Absi, yang dibeli oleh orang-orang Bani an-Nadhir dari Urwah*. Mereka keluar dengan penampilan yang glamour dan megah yang belum pernah terlihat seperti itu sebelumnya di perkampungan manapun pada saat itu.

Mereka membiarkan harta benda mereka dimiliki oleh Rasulullah SAW., untuk beliau gunakan menurut keinginan beliau. Beliau membagi-bagikan harta tersebut kepada kaum Muhajirin generasi pertama dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali Sahal bin Huneif dan Abu Dujanah bin Simak bin Kharasyah. Rasulullah memberi mereka karena keduanya orang miskin.

Tentang Bani an-Nadhir, turunlah surat al-Hasyr. Di dalamnya disebutkan hukuman yang ditimpakan Allah kepada mereka, kemenangan Rasulullah dan apa yang beliau lakukan terhadap mereka. Allah Ta’ala berfirman:

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama.Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mem-pertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatang-kan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan kedalam hati mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang beriman.” (al-Hasyr: 2)

Yakni karena mereka merusak rumah-rumah mereka dari depan pintu rumah ketika mereka hendak mengangkutnya.

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Al-Hasyr: 2)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka.” (al-Hasyr: 3)

Maksudnya, mereka berhak mendapat hukuman dari Allah Ta’ala,
“Maka benar-benar Allah akan mengadzab mereka di dunia.” (al-Hasyr: 3)

Yakni mengadzab mereka di dunia dengan pedang.
“Dan bagi mereka di akhirat adzab naar.” (al-Hasyr: 3)

Namun meskipun begitu, Allah Ta’ala mengatakan,
“Apa saja yang kami tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya.” (al-Hasyr: 5)

Lînah adalah kurma yang berlainan jenis dengan kurma ‘ajwah.

Allah Ta’ala melanjutkan,
“Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kapada orang-orang fasik.” (al-Hasyr: 5)

Yakni ditebang karena perintah Allah Ta’ala, bukan merupakan aksi perusakan. Namun itu merupakan hukuman dari Allah terhadap mereka. Kemudian Allah berfirman:
“Dan apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka,” (al-Hasyr: 6)

Yakni dari harta benda Bani an-Nadhir.

“maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Hasyr: 6)

Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan,
“Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Ra-sulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul,” (al-Hasyr: 7)

Maksudnya, apa saja yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan menunggang kuda, berjalan kaki, atau kemenangan yang direbut dengan paksa lewat peperangan, maka itu semua adalah milik Allah dan rasul-Nya. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan:
“Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)

Maksudnya, ini merupakan pembagian lain dari apa yang didapatkan oleh kaum muslimin dari peperangan sesuai dengan ketentuan Allah Ta’ala. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan:
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafik.” (al-Hasyr: 11)

Yakni Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya beserta orang-orang yang sejalan dengannya. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan,
“Yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu’. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (al-Hasyr: 11)

Yakni Bani An-Nadhir, sampai kepada firman Allah Ta’ala,
“(Mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.” (al-Hasyr: 15)

Yakni Yahudi Bani Qainuqa’. Kemudian Allah Ta’ala menutup kisah pengusiran Bani an-Nadhir ini dengan firmanNya,
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika mereka berkata pada manusia, ‘Kafirlah kamu’, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb se-mesta alam’. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguh-nya keduanya (masuk) ke dalam Neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zhalim.” (al-Hasyr: 16-17)

* Namanya Salma, ia sebenarnya sudah bersuami, berasal dari kampung Maziinah. Kemudian kampung itu diserang oleh Urwah bin Al-Ward lalu ia tertawan olehnya. Urwah ini sering datang ke Bani An-Nadhir. Jika ia butuh uang, ia meminjam kepada mereka, dan menjual barang-barang yang baru dirampasnya di medan perang kepada mereka. Orang-orang Bani Nadhir melihat Salma dan mereka sangat terpesona melihatnya. Mereka minta agar Urwah menjualnya kepada mereka, namun Urwah menolak. Lalu mereka menghidangkan minuman keras kepadanya dan memperdayainya hingga mereka dapat membelinya dari Urwah. Oleh karena itulah ia berkata dalam syairnya:

Mereka memberiku minuman keras kemudian mereka mengerumuniku
Terkutuklah musuh-musuh Allah yang suka berbohong dan menipu
Alangkah herannya mengapa diriku bisa terkalahkan
Atas sesuatu yang sebenarnya dibenci oleh sanubariku

Peristiwa Bi’r Ma’ûnah Pada Bulan (4 Shafar tahun Ke-4 H)


Rasulullah tidak bepergian di sisa bulan Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Kemudian beliau mengirim para sahabat dalam peristiwa Bi’r Ma’ûnah pada bulan Shafar, tepatnya empat bulan setelah terjadinya perang Uhud.

Abu Barâ’, Amir bin Malik bin Ja’far, seorang yang mahir memainkan tombak, datang menemui Rasulullah di Madinah. Beliau mengajaknya masuk Islam dan mendakwahinya. Ia menolak namun ia tidak ingin jauh dari Islam. Abu Barâ’ berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau engkau mengirimkan beberapa orang sahabatmu kepada penduduk Nejed untuk mengajak mereka kepada agamamu. Aku berharap mereka memenuhi ajakanmu. Rasulullah bersabda, “Aku khawatir penduduk Nejed akan mencelakakan sahabat-sahabatku.”

Abu Barâ’ berkata, “Aku yang akan menjadi pelindung mereka, silakan engkau kirim mereka untuk mengajak manusia kepada agama-mu.”

Kemudian Rasulullah mengirim al-Mundzir bin Amr, saudara Bani Sâ’idah yang berjuluk ‘al-Mu’niq li Yamût’ (si berani mati, al-Mu’niq artinya yang bersegera, ia dijuluki demikan karena ia orang yang bersegera meraih syahadah (mati syahid) ), bersama empat puluh orang sahabat-sahabatnya yang merupakan orang-orang pilihan dari kaum muslimin. Diantaranya, al-Harits bin ash-Shimmah, Harâm bin Milhân, ‘Urwah bin Asma’, Nafi’ bin Budail bin Warqâ’, Amir bin Fuhairah seorang bekas budak Abu Bakar ash-Shiddiq dan sahabat-sahabat pilihan lainnya yang telah ditentukan. Utusan tersebut berjalan hingga tiba di Bi’r Ma’ûnah yang terletak di antara wilayah Bani Amir dan wilayah Bani Sulaim. Kedua daerah tersebut berdekatan, namun Bi’r Ma’ûnah lebih dekat kepada wilayah Bani Sulaim.

Ketika utusan itu tiba di Bi’r Ma’ûnah, mereka mengutus Harâm bin Milhân untuk mengantar surat Rasulullah kepada Amir bin ath-Thufail, musuh Allah. Ketika Harâm tiba di tempat Amir bin ath-Thufail, ia tidak membaca surat Rasulullah, bahkan menangkap Harâm bin Milhân dan membunuhnya. Amir bin ath-Thufail berteriak dan mengajak kaumnya menyerang para utusan Rasulullah.

Namun mereka menolak memenuhi seruannya. Mereka berkata, “Kami tidak akan melanggar perjanjian Abu Barâ’!” Perlu diketahui, bahwa Abu Barâ’ telah membuat perjanjian dengan mereka untuk melindungi utusan Rasulullah. Amir bin ath-Thufail tidak menyerah begitu saja. Ia berteriak dan mengajak kabilah-kabilah Bani Sulaim untuk menyerang utusan itu dan mereka pun memenuhi seruannya. Kemudian kabilah-kabilah itu mengepung para utusan Rasulullah di tengah jalan.

Menyadari diri mereka telah dikepung, mereka mencabut pedang masing-masing dan bertempur melawan kabilah-kabilah tersebut hingga terbunuh seluruhnya kecuali Ka’b bin Zaid, kabilah-kabilah itu membiarkannya hidup dalam keadaan terluka parah. Ka’b bin Zaid ditinggalkan dalam keadaan luka parah antara hidup dan mati ditengah-tengah para korban. Namun ia masih bertahan hidup dan gugur sebagai syahid dalam perang Khandaq, semoga Allah merahmati beliau.

Pada saat itu, tidak jauh dari lokasi utusan tersebut terdapat Amr bin Umayyah adh-Dhamri dan seorang sahabat Anshar dari Bani Amr bin Auf. Tidak ada yang memberi tahu keduanya tentang musibah yang dialami para sahabat nabi kecuali seekor burung yang terbang di atas lokasi kejadian. Keduanya bekata, “Demi Allah, burung-burung itu pasti membawa berita besar!” Keduanya berjalan menuju lokasi untuk melihat apa yang terjadi. Ketika keduanya menyaksikan para utusan itu berlumuran darah dan kuda-kuda mereka masih berdiri, berkatalah sahabat Anshar itu kepada Amr bin Umayyah, “Bagaimana pendapatmu?” Amr bin Umayyah berkata, “Aku berpendapat sebaiknya kita segera menghadap Rasulullah dan menjelaskan kepada beliau apa yang terjadi.”

Sahabat Anshar itu berkata, “Namun aku lebih suka terbunuh bersama al-Mundzir bin Amru di tempat ia terbunuh dan apa yang terjadi pada diriku pasti akan diberitahukan oleh orang-orang.” Kemudian ia menyerang kabilah tersebut dan gugur terbunuh.

Lalu kabilah-kabilah itu menangkap Amru bin Umayyah sebagai tawanan. Ketika Amru bin Umayyah menjelaskan bahwa ia berasal dari Mudhar, ia dibebaskan oleh Amir bin ath-Thufail. Ia mencukur rambut di ubun-ubunnya dan membebaskannya dengan menyerahkan seorang budak wanita, menurutnya budak wanita itu adalah milik ibunya.

Setelah itu Amru bin Umayyah berjalan dan ketika tiba di al-Qarqarah (tempat antara, jaraknya dengan kota Madinah sekitar delapan burud) di dekat Qanaah (Sebuah lembah berair di Qarqarah al-Kadr), muncullah dua orang dari Bani Amir. Keduanya singgah di tempat Amru bin Umayyah berhenti. Amru bin Umayyah tidak mengetahui bahwa kedua orang Bani Amir ini telah mengikat perjanjian dengan Rasulullah.

Ketika keduanya berhenti di tempat perhentian Amru bin Umayyah, ia bertanya, “Berasal darimana kalian berdua?” Keduanya menjawab, “Kami berasal dari Bani Amir!” Amru bin Umayyah menunggu beberapa waktu, dan ketika keduanya tidur, ia menyerang dan membunuh kedua orang itu karena ia yakin dengan cara seperti itu ia telah menuntut balas atas orang-orang Bani Amir yang telah membunuh sahabat-sahabat Rasulullah.

Ketika Amru bin Umayyah tiba di tempat Rasulullah dan menjelaskan apa yang dialaminya beliau bersabda, “Sungguh engkau telah membunuh dua nyawa dan aku akan membayar diyat kepada keluarga kedua-nya.” Beliau bersabda, “Ini semua karena ulah Abu Barâ’ yang tidak aku sukai dan aku khawatirkan.” Ketika Abu Barâ’ mendengar semua itu, terasa berat olehnya pengkhianatan Bani Amir terhadapnya dan peristiwa yang dialami oleh sahabat-sahabat Rasulullah karena dirinya. Salah satu korban yang gugur adalah Amir bin Fuhairah.

Hisyam bin Urwah meriwayatkan kepadaku dari ayahnya bahwa Amir bin ath-Thufail berkata, “Siapakah yang terbunuh di antara mereka kemudian aku lihat dia diangkat ke langit hingga aku lihat langit berada di bawahnya?” Mereka menjawab, “Dialah Amir bin Fuhairah!”

Perang ar-Raji’ Pada Tahun Ketiga Hijriyah


Setelah terjadinya perang Uhud, datanglah delegasi dari Adhal dan al-Qarah kepada Rasulullah SAW. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kalangan kami terdapat orang-orang yang telah masuk Islam. Karena itu kirimkanlah bersama kami beberapa orang dari sahabat-sahabatmu untuk mengajarkan perkara-perkara agama, membacakan Al-Qur’an, dan mengajarkan syari’at Islam kepada kami.” Kemudian Rasulullah mengirimkan enam orang sahabat bersama delegasi itu, yaitu Martsad bin Abu Martsad, Khalid bin al-Bukair, ‘Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Adi, Zaid bin ad-Datsinah, dan Abdullah bin Thariq.

Rasulullah menunjuk Martsad bin Abi Martsad sebagai pemimpin rombongan. Kemudian keenam orang sahabat itu berangkat bersama delegasi Adhal dan al-Qarah. Namun ketika mereka tiba di ar Raji’, sebuah mata air milik suku Hudzail dari arah Hijaz di depan al-Had’ah (Tempat antara Asfan dan Makkah), tiba-tiba delegasi Adhal dan al-Qarah mengkhianati para sahabat nabi dan berteriak meminta bantuan kepada orang-orang Hudzail. Tidak ada yang ditakutkan keenam orang sahabat itu dalam perjalanan mereka kecuali orang-orang yang mengepung mereka dengan pedang di tangan.

Oleh karena itu mereka mengambil pedang dan memberikan perlawanan. Delegesi Adhal dan al-Qarah itu berkata; “Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kalian. Kami hanya ingin mendapatkan sesuatu dari orang-orang Quraisy dengan menyerahkan kalian. Kalian berhak atas janji Allah, bahwa kami tidak akan membunuh kalian.”

Martsad bin Abi Martsad, Khalid bin al-Bukair, dan Ashim bin Tsabit berkata: “Demi Allah, kami tidak menerima janji dan akad dari orang musyrik selama-lamanya.” Setelah itu ‘Ashim bin Tsabit melantunkan syair:

“Apa kekuranganku, padahal aku orang kuat dan pelempar panah
Dan di busur panah terdapat anak panah yang kokoh
Kematian itu pasti terjadi dan kehidupan itu akan hilang
Apa saja yang ditaqdirkan Allah pasti terjadi atas seseorang
Dan semua orang akan kembali kepadaNya.”

Kemudian ia bertempur melawan musuh hingga terbunuh bersama kedua orang sahabatnya. Ketika ‘Ashim bin Tsabit terbunuh, orang-orang Hudzail ingin mengambil kepalanya untuk dijual kepada Sulafah binti Sa’ad bin Syahid, yang pernah bernadzar setelah kematian dua orang anaknya, bahwa jika ia berkesempatan mendapat kepala ‘Ashim bin Tsabit, niscaya ia akan menyiramnya dengan khamr. Namun keinginan mereka itu dihalang-halangi oleh seekor kumbang besar, hingga mereka tidak mampu mendekati kepala ‘Ashim bin Tsabit. Mereka berkata: “Biarkan kumbang itu hingga sore hari. Bila ia telah pergi, baru kita ambil mayatnya.” Namun setelah itu Allah mengirim sekumpulan lebah yang kemudian membawa pergi jenazahnya. Sebelumnya ‘Ashim bin Tsabit pernah bersumpah kepada Allah bahwa ia tidak sudi disentuh oleh orang musyrik dan tidak pula menyentuh mereka karena mereka adalah najis. Umar bin Khatthab RA berkata: “Allah melindungi hamba yang ber-iman. ‘Ashim pernah bernadzar agar tidak disentuh dan tidak pula me-nyentuh orang musyrik sepanjang hidupnya. Kemudian Allah melin-dunginya setelah ia wafat sebagaimana Dia melindunginya sepanjang hidupnya.”

Adapun Zaid bin ad-Datsinah, Khubaib bin Adi, dan Abdullah bin Thariq, mereka tidak bersikap tegas dan memilih hidup. Mereka menye-rah dan menjadi tawanan orang-orang Hudzail. Setelah itu orang-orang Hudzail membawa mereka ke Makkah untuk dijual. Ketika tiba di Dahran, Abdullah bin Thariq melepaskan diri dari ikatan dan mengambil pedang. Orang-orang Hudzail menghindar lalu melemparinya dengan batu hingga tewas. Hingga kini makam Abdullah bin Thariq berada di sana. Sedangkan Khubaib bin Adi dan Zaid bin ad-Datsinah, keduanya tetap dibawa ke Makkah. Khubaib bin Adi dibeli oleh Hujair bin Abi Ihab untuk Utbah bin al-Harits bin Amir, sebagai pembalasan atas ke-matian ayahnya.

Zaid bin ad-Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umaiyyah untuk di-bunuh sebagai pembalasan atas kematian ayahnya, Umaiyyah bin Khalaf. Shafwan bin Umaiyyah menyuruh budaknya bernama Nasthas, bersama orang-orang Quraisy untuk membawa Zaid bin ad-Datsinah ke at-Tan’im (nama sebuah tempat yang terletak antara Makkah dan Saraf, kira-kira dua farsakh dari Makkah). Mereka membawanya keluar dari tanah Haram Makkah untuk dibunuh. Beberapa orang kaum Quraisy, di antaranya Abu Sofyan bin Harb berkumpul.

Ketika mendekat untuk membunuhnya Abu Sofyan bin Harb berkata: “Aku bersumpah demi Allah hai Zaid, apakah engkau senang jika Muhammad menggantikan tempatmu sekarang ini untuk kami siksa sedang engkau pulang ke rumah?” Zaid bin ad-Datsinah menjawab: “Demi Allah aku tidak ingin Muhammad berada di tempatnya kemudian tertusuk duri sementara aku duduk santai di rumahku.” Abu Sofyan bin Harb berkata: “Aku tidak pernah menjumpai seseorang men-cintai orang lain seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada-nya.” Setelah itu Zaid bin ad-Datsinah dibunuh oleh Nasthas.

Diriwayatkan dari Muawiyah, bekas budak wanita Hujeir bin Abi Ihaab yang telah masuk Islam, ia berkata: “Khubaib bin Adi ditahan di rumahku. Pada suatu hari aku mengintipnya dan aku lihat ia memegang setandan anggur bentuknya seperti kepala orang dan memakannya. Pada-hal sepengetahuanku di sini tidak ada anggur yang bisa dimakan.”

Ketika hendak menghadapi detik-detik kematian ia berkata kepada-ku: “Beri aku sepotong besi agar aku dapat membersihkan diri dengannya untuk kematianku.” Kemudian aku memberi sebilah pisau kepada salah seorang anak muda di kampung tersebut dan berkata kepadanya: “Berilah pisau ini kepada lelaki yang berada dalam rumah itu.”

Muawiyah melanjutkan: “Demi Allah anak muda itu pergi menemui Khubaib seketika itu juga dengan membawa pisau tersebut. Aku berkata dalam hati: “Apa yang telah kulakukan ini!? Demi Allah orang itu bisa membalas dendam dengan membunuh anak muda itu. Jadi, nya-wa satu orang dibalas dengan nyawa satu orang.”

Ketika anak muda itu menyerahkan pisau kepada Khubaib bin Adi maka Khubaib menerimanya seraya berkata: “Aku bersumpah kepadamu bahwa ibumu tidak takut aku berkhianat ketika ia menyuruhmu kemari dengan membawa pisau ini! Kemudian ia pun membiarkan anak muda itu pergi. Orang-orang Quraisy membawa Khubaib bin Adi keluar Makkah. Ketika tiba di at-Tan’im dan mereka bermaksud membunuhnya, Khu-baib berkata: “Apakah kalian mengizinkan aku mengerjakan shalat dua rakaat?” Mereka menjawab: “Ya, boleh.” Kemudian Khubaib mengerjakan shalat dua rakaat dengan baik dan sempurna. Setelah itu Khubaib menemui mereka dan berkata: “Demi Allah, seandainya kalian tidak akan menduga aku takut mati, niscaya aku akan memperpanjang shalatku.”

Khubaib adalah orang pertama yang mensunnahkan shalat dua rakaat bagi kaum muslimin ketika hendak dibunuh. Kemudian orang-orang Quraisy mengangkat Khubaib bin Adi ke atas kayu. Ketika mereka telah mengikatnya, ia berkata: “Ya Allah, sungguh aku telah menyampaikan risalah nabiMu, maka sampaikan kepadanya besok pagi apa yang telah mereka perbuat terhadap diriku. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, bunuh mereka secara terpisah, dan jangan sisakan satu orang pun dari mereka.” Setelah itu mereka membunuh Khubaib bin Adi. Muawiyah bin Abi Sofyan berkata: “Aku menghadiri pembunuhan Khubaib bin Adi bersama Abu Sofyan. Sungguh aku jatuh ke tanah karena takut mende-ngar doa Khubaib bin Adi. Ketika itu orang-orang berkata: “Jika sese-orang didoakan kejelekan, kemudian ia tidur miring, niscaya doa itu hilang darinya.”

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab mengangkat Sa’id bin Amir bin Hidzyam al-Jumahi menjadi gubernur di sebagian wilayah Syam, dan ia pernah tidak sadarkan diri di hadapan rakyatnya. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Umar bin Khatthab dan dikatakan kepadanya: “Sungguh Sa’id bin Amir tidak sadarkan diri.” Kemudian Umar bin Khatthab bertanya kepadanya: “Hai Sa’id, apa yang terjadi denganmu?” Sa’id bin Amir menjawab: “Aku tidak apa-apa, wahai amirul mukminin. Namun aku termasuk orang yang menghadiri pembunuhan Khubaib bin Adi dan mendengar doanya. Demi Allah, tidaklah hal itu terlintas dalam benakku dan aku berada di suatu ruang, melainkan aku pasti tidak sadarkan diri. Jawaban Sa’id bin Amir itu semakin menambah kebaikan Khubaib bin Adi di hati Umar bin Khaththab.

Ibnu Abbas berkata mengatakan bahwa ketika para utusan ke ar-Raji’ yang di dalamnya terdapat Martsad dan Ashim mendapat musibah, orang-orang munafik berkata: “Duhai celakanya orang-orang yang terbu-nuh dengan cara seperti itu. Mereka tidak berdiam di rumah bersama keluarga dan tidak pula menunaikan risalah sahabat mereka (Rasulullah).” Kemudian Allah SAW menurunkan ayat tentang ucapan orang-orang munafik tersebut dan kebaikan yang diterima para sahabat di balik musibah yang mereka alami. Allah berfirman:

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehi-dupan dunia menarik hatimu.” (al-Baqarah: 204)

Maksudnya adalah orang-orang yang menampakkan ke-Islaman dengan lisannya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya.” (al-Baqarah: 204)

Maksudnya, padahal dia sendiri menentang apa yang diucapkan lisannya. Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
“Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (al-Baqarah: 204)

Maksudnya, ia selalu mendebat jika berbicara denganmu.
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu).” (al-Baqarah: 205)
Maksudnya, keluar darimu.

“Ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (al-Baqarah: 205)
Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menyukai dan meridhai amal perbuatan-nya.

“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) naar Jahannam. Dan sungguh naar Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (al-Baqarah: 206-:207)
Maksudnya, mereka telah menjual nyawa mereka kepada Allah dan berjihad di jalanNya hingga mereka terbunuh. Mereka yang dimaksud di sini adalah utusan ke ar Raji’.

Di antara syair yang diucapkan Khubaib bin Adi ketika mendengar bahwa orang-orang Quraisy bersepakat untuk menyalib dirinya, adalah:

“Orang-orang dari segenap Kabilah telah berkumpul disekitarku
Mereka semua menunjukkan permusuhan kepadaku
Mereka menekanku
Sementara aku terbelenggu dalam ikatan
Mereka mengumpulkan anak-anak dan istri-istri mereka
Dan aku diikat di batang kurma yang panjang dan kokoh
Hanya kepada Allah sajalah
aku mengadukan keterasingan dan kesedihanku
serta kelaliman tentara Ahzab saat aku menemui ajalku
Wahai Allah pemilik Arsy,
berilah daku kesabaran menanggung siksa
yang mereka tujukan kepadaku
mereka telah memotong-motong kulitku
dan telah pupus harapanku
Semua itu demi Allah, jika Dia berkehendak
Niscaya Dia akan memberkahi cabikan daging yang berserak
Mereka memberiku pilihan antara kekufuran dan kematian
Namun pandangan mataku tidak bergeming dari kematian
Sesekali aku tidak akan dapat menghindar dari kematian
Bila tiba ajalnya aku pasti mati
Namun aku lebih memilih menghindar dari jilatan api Neraka
Demi Allah, aku tidak takut bagaimanapun bentuk kematianku
dalam membela agama Allah
asalkan aku mati dalam keadaan muslim
Aku tak akan menunjukkan kekusyu’an dan kegoncangan pada musuh
Sesungguhnya kepada Allah jualah aku akan kembali.”
Hassan bin Tsabit RA., mengucapkan syairnya menangisi Khubaib bin Adi:

“Kenapa kedua matamu tidak mengucurkan air mata
Ke dada seperti mutiara yang bergerak
Menangisi Khubaib,
seorang pemuda gagah berani seperti yang mereka tahu
tiada kegagalan dan tiada kegoncangan saat menghadapi ajal
Khubaib telah pergi, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan jannah yang kekal abadi bersama bidadari
Apa yang hendak kalian katakan,
apabila Nabi berkata kepada kalian di hadapan malaikat di ufuk
Mengapa kalian bunuh syahid Allah hanya karena seorang lelaki
Yang melampaui batas dan merajalela di muka bumi?”

Perang Uhud (2)


Ketika kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah masih hidup, serentak mereka bangkit menuju beliau. Selanjutnya beliau berjalan menuju gunung Uhud bersama mereka dengan dikawal abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, az-Zubair, al-Harits bin ash-Shammah, dan beberapa orang dari kaum muslimin. Ketika Rasulullah mendaki jalan menuju gunung Uhud, beliau berpapasan dengan Ubay bin Khalaf yang kemudian bertanya kepada beliau: “Hendak pergi kemanakah engkau, wahai Muhammad? Aku tidak akan selamat jika engkau selamat.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, pantaskah seseorang di antara kita bersikap ramah kepadanya?” Beliau bersabda: “Biarkan dia.”

Ketika Rasulullah SAW., telah dekat dengan Ubay bin Khalaf, beliau mengambil tombak dari tangan al-Harits bin ash-Shimmah. Sebagian perawi mengatakan bahwa ketika Rasulullah mengambil tombak tersebut dari tangan al-Harits bin ash-Shammah, tiba-tiba beliau tergoncang dengan goncangan yang hebat yang membuat kami berterbangan dari beliau seperti lalat berterbangan dari punggung unta. Rasulullah maju ke arah Ubay bin Khalaf lalu menikam lehernya hingga terjatuh berkali-kali. Dahulu Ubay bin Khalaf pernah berjumpa dengan Rasulullah di Makkah. Ketika itu ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad, aku memiliki kuda bernama al-Audz yang aku beri makan dua belas kwintal setiap hari, agar kelak aku bisa membunuhmu di atas-nya.” Rasulullah bersabda: “Bahkan akulah yang akan membunuhmu, insya Allah.” Ketika Ubay bin Khalaf kembali kepada orang-orang Quraisy dengan luka di kehernya yang tidak terlampau parah dan darah pun telah berhenti, ia berkata: “Demi Allah, aku telah dibunuh oleh Muhammad.” Orang-orang Quraisy berkata: “Demi Allah, engkau telah kehilangan nyali. Bukankah engkau masih memiliki kekuatan?” Ubay bin Khalaf berkata: “Ketika masih di Makkah, Muhammad pernah berkata kepadaku ‘Aku akan membunuhmu’. Demi Allah, seandainya dia melu-dahiku, niscaya ia bisa membunuhku dengan ludahnya.” Setelah itu Ubay bin Khalaf menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan orang-orang Quraisy membawa mayatnya ke Makkah.

Ketika Rasulullah SAW., tiba di depan jalan menuju gunung Uhud, Ali bin Abi Thalib RA., keluar menuju al-Mihras (sebuah tempat di Uhud), untuk mengisi tempat air. Kemudian Ali membawanya kepada Rasulullah dan beliau minum darinya. Karena mencium bau yang tidak sedap beliau tidak jadi meminumnya. Beliau hanya mengusap darah pada wajah beliau dan mengguyurkan air itu ke kepala, seraya bersabda: “Allah sangat marah kepada orang yang melukai wajah nabi-Nya.” Rasulullah mendaki bebatuan gunung dalam keadaan badan yang mulai melemah dan menge-nakan baju besi di depan dan belakang badannya. Beliau berusaha terus mendaki namun gagal. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah duduk di ba-wah beliau lalu berdiri hingga beliau bisa berdiri dengan tegak. Rasu-lullah bersabda: “Thalhah pasti masuk Surga.” Beliau bersabda demikian karena apa yang telah dilakukan Thalhah terhadap beliau.

Di antara orang yang terbunuh dalam perang Uhud adalah Mukhairiq. Ia berasal dari Bani Tsa’labah bin al-Fithyaun. Ketika terjadi perang Uhud, ia berkata: “Wahai orang-orang Yahudi, demi Allah kalian tidak mengetahui bahwa membantu Muhammad adalah kewajiban kalian.” Orang-orang Yahudi berkata, “Ini adalah hari Sabtu.” Mukhairiq berkata: “Tidak ada hari Sabtu bagi kalian.” Setelah itu ia mengambil pedang dan perbekalan. Ia berkata: “Jika aku mati, hartaku menjadi milik Muham-mad. Ia boleh menggunakan sekehendaknya.” Kemudian ia berangkat menuju Rasulullah dan berperang bersama beliau hingga terbunuh. Rasulullah SAW., bersabda: “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi."

Abu Hurairah RA., berkata: “Ceritakan kepadaku orang yang masuk Surga tanpa pernah mengerjakan shalat sekalipun. Jika orang-orang tidak mengenalnya, mereka bertanya kepadanya (Abu Hurairah), ia menjawab bahwa orang tersebut adalah Ushairim, seorang dari Bani Abdul Asyhal, yakni Amr bin Tsabit bin Waqasy. Al-Hushain berkata: ‘Aku bertanya kepada Mahmud bin Asad: “Bagaimana perihal keadaan Ushairim?” Dia menjawab: “Sebelumnya Ushairim tidak menghendaki Islam tersebar di tengah kaumnya. Namun ketika Rasulullah berangkat ke Uhud, tiba-tiba timbul keinginan di hatinya untuk masuk Islam. Kemudian ia pun masuk Islam. Setelah itu ia mengambil pedang dan berangkat ke Uhud hingga tiba di tengah peperangan. Ia bertempur hingga terluka. Ketika orang-orang dari Bani Abdul Asyhal mencari korban-korban mereka di perang Uhud, mereka menemukan Ushairim. Mereka berkata: “Demi Allah ini adalah Ushairim, mengapa mereka datang kemari? Sungguh kami tinggalkan ia karena ia tidak mempercayai berita ini.” Maka mereka bertanya kepada Ushairim apa yang menyebabkan ia datang ke Uhud. Mereka bertanya: “Apa yang mendorongmu datang kemari, wahai Abu Amr, apakah karena kecintaanmu kepada kaummu ataukah kecintaanmu kepada Islam?” Ushairim menjawab: “Aku datang karena kecintaanku kepada Islam. Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta masuk Islam. Setelah itu aku mengambil pedang dan menyusul Rasulullah, lalu bertempur hingga terluka seperti ini.” Tidak lama setelah itu Ushairim menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan mereka. Kemudian mereka menyampaikan perihal Ushairim kepada Rasulullah dan beliau bersabda: “Sungguh ia termasuk penghuni Surga.”

Amr bin Al-Jamuh adalah seorang laki-laki yang pincang. Ia memi-liki empat orang anak seperti singa yang turut dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah. Di perang Uhud, anak-anaknya bermaksud mela-rangnya ikut berperang seraya berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memaafkanmu.” Amr bin al-Jamuh datang menemui Rasulullah dan berkata: “Anak-anakku bermaksud melarangku berangkat bersamamu. Demi Allah, aku berharap dapat menginjak Surga dengan kakiku yang pincang ini.” Rasulullah bersabda: “Adapun engkau, sungguh Allah telah memaafkanmu dan engkau tidak wajib berjihad.” Dan beliau bersabda kepada anak-anak Amr bin al-Jamuh: “Kalian tidak berhak melarang ayah kalian. Mudah-mudahan Allah memberinya mati syahid.” Setelah itu Amr bin al-Jamuh berangkat jihad bersama Rasulullah dan gugur sebagai syahid di perang Uhud.

Hindun binti Utbah dan wanita-wanita Quraisy mencincang-cincang para korban dari sahabat Rasulullah SAW., serta memotong hidung dan telinga-telinga mereka. Bahkan Hindun binti Utbah menjadikan hidung dan telinga para korban itu sebagai kalung dan gelang kaki. Sementara gelang, kalung dan cincinnya ia berikan kepada Wahsyi, budak Zubair bin Muth’im. Tidak puas sampai di siti, Hindun binti Utbah membelah hati Hamzah bin Abdul Muththalib, lalu mengunyah dan hendak mene-lannya namun tidak mampu. Kemudian ia memuntahkannya.

Al-Hulais bin Zabban saudara Bani Al-Harits bin Abdi Manat ada-lah pemimpin ahabisy ketika itu. Ia berjalan melewati Abu Sofyan bin Harb yang sedang memukul tulang rahang bawah Hamzah bin Abdul Muththalib dengan tombak besi sambil berkata: “Rasakan ini hai orang durhaka!” Al-Hulais berkata: “Hai orang-orang Bani Kinanah, inilah perilaku pemimpin Quraisy terhadap anak pamannya. Tidakkah kalian melihat ia telah mati?”

Abu Sofyan berkata: “Celakalah engkau, rahasiakan kejadian ini! Karena ini merupakan sebuah kesalahan.” Ketika Abu Sofyan bin Harb hendak pulang, ia naik ke atas gunung dan berteriak sekeras-kerasnya: “Aku menang, sesungguhnya kekalahan telah terbalas, hidup Hubal, jayalah agamamu!”

Lalu Rasulullah SAW., memerintahkan Umar bin Al-Khatthab RA: “Berdirilah wahai Umar, jawablah seruan Abu Sofyan dan katakan kepadanya bahwa Allah lebih tinggi dan lebih mulia. Tidak sama antara korban kami yang masuk Surga dengan korban kalian yang masuk Neraka. Setelah Umar bin Al-Khatthab menjawab seruan Abu Sofyan, maka ia berkata: “Kemarilah engkau hai Umar!” Rasulullah berkata: “Datangilah ia wahai Umar, dan lihatlah apa yang ia perbuat!”

Umar bin Al-Khatthab pun mendatangi Abu Sofyan. Abu Sofyan berkata kepadanya: “Aku bersumpah demi Allah hai Umar, benarkah ka-mi telah membunuh Muhammad?” Umar menjawab: “Sekali-kali tidak! Beliau sekarang sedang mendengarkan ucapanmu!” Abu Sofyan berkata: “Engkau lebih jujur dan lebih baik dalam pandanganku daripada Ibnu Qamiah yang berkata kepada orang-orang Quraisy: “Aku telah membu-nuh Muhammad!”

Setelah itu Abu Sofyan berteriak: “Di antara korban-korban kalian ada yang dicincang! Demi Allah aku tidak rela dan aku juga tidak marah, aku tidak melarang dan tidak menyuruh perbuatan tersebut!” Ketika Abu Sofyan beserta anak buahnya hendak kembali ke Makkah, ia berseru: “Sungguh kita akan bertemu lagi di Badar tahun depan!” Rasulullah bersabda kepada seorang sahabat: “Katakan ya! Dan kita mempunyai per-janjian dengan mereka untuk bertemu!”

Kemudian beliau mengutus Ali bin Abi Thalib dan berkata kepada-nya: “Pergilah dan mata-matai orang-orang Quraisy serta lihatlah apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka inginkan. Jika mereka meletakkan kuda-kuda mereka di sebelah selatan dan menaiki unta-unta berarti mereka hendak pulang kembali ke Makkah. Namun jika mereka menaiki kuda-kuda mereka dan menuntun unta-unta mereka berarti mereka hendak menuju ke Madinah! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya! Jika mereka hendak menyerang Madinah, aku pasti akan kembali ke Madinah dan aku perangi mereka di dalamnya.”

Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku berjalan menelusuri jejak orang-orang Quraisy dan melihat apa yang mereka kerjakan. Ternyata mereka meletakkan kuda-kuda di sebelah selatan mereka dan menaiki unta-unta mereka dan berjalan kembali ke Makkah.”

Setelah itu kaum muslimin mengurusi korban-korban mereka. Ra-sulullah bersabda: “Siapa yang bersedia mewakiliku untuk melihat apa-kah Sa’ad bin ar-Rabi’ masih hidup ataukah ikut terbunuh?” Salah seorang dari kaum Anshar berkata: “Wahai Rasulullah, aku bersedia me-wakilimu untuk melihat Sa’ad bin ar-Rabi’. Kemudian sahabat Anshar itu mencarinya lalu mendapatinya terluka di antara para korban namun ia masih hidup. Sahabat Anshar itu berkata kepada Sa’ad: “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan aku untuk melihat apakah engkau masih hidup ataukah turut menjadi korban? Sa’ad bin Ar-Rabi’ menjawab: “Aku termasuk korban di antara para korban, sampaikan salamku kepada Rasulullah dan katakan kepadanya bahwa Sa’ad bin Ar-Rabi’ berkata kepada Anda: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas jasa Anda sebaik-baik balasan yang Allah berikan kepada seorang nabi karena umatnya. Dan juga sampaikan salamku kepada kaummu serta katakan kepada mereka bahwa Sa’ad bin ar-Rabi’ berkata kepada kalian bahwa kalian tidak memiliki udzur di sisi Allah apabila Rasulullah terlepas dari perlindungan kalian sementara di antara kalian masih ada yang hidup.”

Sahabat Anshar itu berkata: “Tidak lama setelah itu ia pun meng-hembuskan nafas terakhir. Kemudian aku menemui Rasulullah dan men-ceritakan perihal Sa’ad bin ar-Rabi’ kepada beliau.

Kemudian setelah itu Rasulullah keluar untuk mencari Hamzah bin Abdul Muththalib. Beliau menemukannya di dasar lembah dalam keada-an perut terbelah dan hatinya dicincang-cincang, hidung dan telinganya dipotong-potong. Setelah melihat Hamzah, beliau bersabda: “Kalaulah sekiranya tidak membuat Shafiyah bersedih dan menjadi sunnah sepe-ninggalku, niscaya aku biarkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthathalib hingga menjadi santapan binatang-binatang buas dan burung-burung. Jika Allah memberi kemenangan kepadaku atas kaum Quraisy, aku pasti akan mencincang-cincang tiga puluh korban dari mereka.”

Ketika kaum muslimin melihat duka Rasulullah dan kemarahan beliau atas perbuatan orang-orang Quraisy atas paman beliau, mereka berkata: “Apabila Allah memberi kemenangan atas mereka pada satu hari nanti, kita pasti akan mencincang-cincang mereka dengan pencincangan yang tidak pernah dikerjakan oleh seorang Arab pun sebelumnya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Allah menurunkan ayat berikut menanggapi ucapan Rasulullah dan ucapan para sahabatnya:

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (an-Nahl: 126-127)

Akhirnya Rasulullah memaafkan orang-orang yang menyincang Hamzah dan melarang melakukan penyincangan.

Rasulullah memerintahkan agar jenazah Hamzah bin Abdul Muth-thalib ditutup dengan kain burdah kemudian dishalati. Beliau bertakbir sebanyak tujuh kali. Setelah itu jenazah-jenazah yang lainnya diletakkan di samping jenazah Hamzah bin Abdul Muththalib kemudian dishalati, hingga akhirnya jenazah Hamzah bin Abdul Muththalib dishalati bersama mereka sebanyak tujuh puluh dua kali.

Shafiyan binti Abdul Muththalib datang untuk melihat Hamzah bin Abdul Muththalib, saudara kandungnya. Rasulullah bersabda kepada az-Zubair bin Awwam, putra Shafiyah: “Temui ibumu dan suruh agar ia pulang hingga tidak menyaksikan apa yang menimpa saudaranya.” az-Zubair berkata kepada ibunya: “Ibu, sesungguhnya Rasulullah menyuruh-mu pulang.” Shafiyah bertanya: “Mengapa Rasulullah menyuruhku pu-lang, sedang aku mendengar berita bahwa saudaraku dicincang-cincang, dan itu terjadi di jalan Allah? Tidak ada yang lebih melegakan dari hal itu. Aku pasti mengharap pahala dari-Nya dan mampu bersabar, insya Allah.” Az-Zubair menemui Rasulullah dan menceritakan perihal ibunya. Kemudian beliau bersabda: “Biarkan dia!” Shafiyah pun melihat jenazah Hamzah bin Abdul Muththalib dan ber-istirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un), dan memintakan ampunan baginya. Setelah itu Rasulullah memerintahkan agar jenazah Hamzah bi Abdul Muththalib dimakamkan. Pada mulanya beberapa orang dari kaum muslimin ingin membawa korban mereka ke Madinah dan dimakamkan di sana. Namun Rasulullah melarangnya, dan bersabda: “Makamkan mereka di tempat mereka gugur.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Tsa’labah bahwa ketika Rasulullah berdiri di hadapan para korban perang Uhud, beliau bersabda: “Aku menjadi saksi atas mereka. Sesungguhnya seseorang yang terluka di jalan Allah, dia akan dibangkitkan dalam keadaan lukanya berdarah, warnanya warna darah dan aromanya laksana kesturi. Lihatlah siapa di antara mere-ka yang paling banyak hafal al-Qur’an, dan letakkan ia di depan sahabat-sahabatnya di tempat pemakaman.” Para sahabat memakamkan dua atau tiga orang dalam satu liang.

Kemudian Rasulullah kembali ke Madinah. Beliau berjumpa dengan Hamnah bintu Jahsy. Ketika Hamnah berjumpa dengan para sahabat dan dikabarkan kepadanya tentang kesyahidan saudaranya Abdullah bin Jahsy, ia pun ber-istirja’ dan memintakan ampunan baginya. Demikian juga ketika dikabarkan kepadanya kesyahidan pamannya, Hamzah bin Addul Muththalib, ia ber-istirja’ dan memohonkan ampunan baginya. Namun ketika dikabarkan kepadanya kesyahidan suaminya, Mush’ab bin Umair, ia berteriak dan mengucapkan kata-kata ratapan. Rasulullah SAW., bersada: “Sesungguhnya seorang suami memiliki kedudukan tersendiri di hati istrinya.” Karena beliau melihat Hamnah bisa bersabar atas kesya-hidan saudara dan pamannya, namun meratap atas kesyahidan suaminya.

Selanjutnya Rasulullah berjalan melewati pemukiman kaum Anshar, yakni pemukiman Bani Abdul Asyhal dan pemukiman Dzafar. Beliau mendengar tangis dan ratapan atas korban-korban mereka. Air mata beliau pun tak terbendung lagi. Setelah itu Rasulullah bersabda: “Namun Hamzah, tidak ada yang menangisinya.” Ketika Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair kembali ke pemukiman Bani Abdul Asyhal, keduanya memerintahkan para wanita Bani Abdul Asyhal mengenakan ikat pinggang dan pergi menangisi Hamzah bin Abdul Muththalib. Ketika Rasulullah mendengar tangis para wanita itu atas Hamzah bin Abdul Muthalib, beliau keluar menemui mereka di pintu masjid beliau, dan bersabda: “Kembalilah kalian, mudah-mudahan Allah merahmati kalian. Sungguh kalian telah menyamakan Hamzah sebagaimana korban-korban kalian.”

Rasulullah juga berjalan melewati seorang wanita Bani Dinar yang kehilangan suami, saudara dan ayahnya di perang Uhud. Ketika kabar itu disampaikan kepadanya, ia berkata: “Bagaimana dengan kabar Rasu-lullah?” Para sahabat menjawab: “Beliau baik-baik saja, wahai ibu Fulan. Alhamdulillah beliau sebagaimana yang engkau harapkan.” Wanita itu berkata: “Tunjukkan Rasulullah supaya aku bisa melihat beliau.” Kemu-dian ia dibawa menghadap Rasulullah. Setelah melihat beliau, ia berkata: “Segala musibah setelahmu adalah kecil artinya.”

Setibanya di rumah Rasulullah menyerahkan pedang beliau kepada Fathimah, putri beliau, seraya bersabda: “Cucilah darah dari pedang ini! Demi Allah ia telah jujur kepadaku hari ini.” Ali bin Abi Thalib juga me-nyerahkan pedangnya kepada Fathimah sambil berkata; “Tolong bersih-kan juga pedangku ini! Sungguh ia telah jujur kepadaku hari ini.” Rasu-lullah bersabda: “Jika engkau berperang dengan jujur, sungguh Sahl bin Hunaif dan Abu Dujanah juga jujur bersamamu.”

Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu tanggal lima belas bulan Sya-wal. Keesokan harinya tanggal enam belas, penyeru Rasulullah memberi kepada kaum muslimin untuk mengejar musuh dan bahwasanya yang diperintahkan untuk keluar adalah mereka yang keluar bersama kami kemarin di perang Uhud. Jabir bin Abdullah bin Amr bin Haram berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku menyuruhku untuk men-jaga tujuh orang saudara perempuanku dan ia berkata kepadaku: “Anak-ku, tidak selayaknya kita meninggalkan ketujuh saudaramu tanpa ada seorang laki-laki pun bersama mereka. Dan aku tidak ingin menganak-emaskanmu daripada diriku dengan ikut berjihad bersama Rasulullah. Karena itu tinggallah engkau bersama ketujuh orang saudara perempuan-mu. Maka aku pun tinggal bersama ketujuh saudaraku.” Akhirnya Rasulullah mengizinkannya pergi bersama beliau. Beliau bersama para saha-bat mengejar musuh untuk menakut-nakuti mereka, agar mereka berke-simpulan bahwa beliau masih memiliki kekuatan dan apa yang menimpa para sahabat tidak melemahkan semangat mereka. Rasulullah beserta para sahabat berjalan hingga tiba di Hamraul Asad yang berjarak delapan mil dari Madinah. Beliau tinggal di Hamraul Asad pada hari Selasa, Rabu dan Kamis, kemudian kembali ke Madinah.

Ma’bad bin Abi Ma’bad dari Al-Khuza’i berjalan melewati Rasu-lullah. Ketika itu Khuza’ah, berikut penduduknya baik yang muslim mau-pun kafir merupakan tempat persembunyian Rasulullah. Beliau mem-punyai perjanjian dengan mereka bahwa mereka tidak akan menyembu-nyikan segala sesuatu yang terjadi di sana. Ketika itu, Ma’bad bin Abi Ma’bad masih musyrik. Ia berkata: “Wahai Muhammad, demi Allah ka-mi turut bersedih atas apa yang menimpa sahabat-sahabatmu. Dan kami berharap semoga Allah menyelamatkanmu di tengah-tengah mereka.” Setelah itu ia pergi –sementara Rasulullah tetap tinggal di Hamra’ul Asad– sampai dia bertemu dengan Abu Sofyan bin Harb beserta anak buahnya di Rauha’ (sebuah desa yang terletak sejauh perjalanan dua malam dari Madinah) yang bermaksud balik menghadapi Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka berkata: “Kita telah mengalahkan sahabat-sahabat Muhammad, para tokoh dan pemimpin mereka. Mengapa kemu-dian kita pulang tanpa membasmi mereka hingga habis?” Kita pasti akan kembali dan menghabisi mereka.”

Ketika melihat Ma’bad bin Abi Ma’-bad, Abu Sofyan berkata: “Berita apa yang engkau bawa wahai Ma’bad?” Ma’bad menjawab: “Muhammad mengejar kalian bersama sahabat-saha-batnya yang belum pernah aku lihat sebelumnya karena marah kepada kalian. Sahabat-sahabatnya yang tidak ikut serta dalam perang Uhud, semua bergabung dengannya dan menyesal tidak turut berperang. Mereka sangat marah kepada kalian dan aku tidak pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.” Abu Sofyan berkata: “Celaka engkau, apa yang engkau katakan ini?” Ma’bad berkata: “Demi Allah, aku berpendapat hendaknya engkau kembali hingga engkau melihat kepala kuda mening-gi.” Abu Sofyan berkata: “Demi Allah kami telah bersepakat untuk kem-bali ke tempat mereka dan menghabisi sisa-sisa mereka.” Ma’bad berka-ta: “Aku sarankan agar engkau tidak melakukannya. Demi Allah, sung-guh apa yang aku lihat membuat aku melantunkan sya’ir-sya’ir tentang mereka.” Abu Sofyan berkata: “Bagaimana sya’ir yang engkau lantun-kan?” Ma’bad menjawab: “Aku katakan:

“Hewan tungganganku nyaris tumbang karena suara-suara
Ketika bumi mengalir dengan kuda-kuda yang pendek rambutnya berkelompok-kelompok
Kuda-kuda itu lari dengan singa-singa mulia yang tidak pernah kehilangan nyali di medan pertempuran
Tidak satu pun orang tanpa senjata yang mampu bertahan di atas pelana kuda
Aku terus berlari karena aku sangka bumi telah leleh
Ketika mereka naik kepada kita dengan pemimpin yang pantang mundur
Aku katakan: ‘Celakalah anah Harb jika bertemu dengan kalian
Jika bumi bergetar dengan sekelompok manusia
Aku ingatkan penduduk tanah suci secara terbuka
Bagi setiap orang yang masih memiliki akal
Dari pasukan Ahmad yang tidak ada di dalamnya orang kelas gembel
Apa yang kukatakan ini bukanlah omong kosong.”
Syair-syair itu menggoyahkan keinginan Abu Sofyan beserta anak buahnya untuk kembali ke Madinah.

Ketika serombongan musafir dari Bani Abdul Qais berjalan mele-wati Abu Sofyan bin Harb, ia pun bertanya kepada mereka: “Hendak per-gi ke mana kalian?’ Mereka menjawab: “Ke Madinah.” Abu Sofyan ber-kata: “Untuk apa kalian pergi ke Madinah?” Mereka menjawab: “Kami hendak pergi ke al-Mirah.” Abu Sofyan berkata: “Maukah kalian me-nyampaikan suratku kepada Muhammad? Jika kalian bersedia, aku akan memikulkan anggur ini ke pasar Ukadz besok pagi.” Mereka menjawab: “Ya.” Abu Sofyan berkata: “Jika kalian setuju, sampaikan kepada Mu-hammad bahwa kami telah bersepakat untuk balik kepadanya dan para sahabatnya untuk membasmi seluruh sisa-sisa mereka.” Ketika rombong-an musafir itu berjumpa dengan Rasulullah SAW., di Hamra’ul Asad dan me-nyampaikan apa yang dikatakan Abu Sofyan bin Harb beserta anak buah-nya, beliau bersabda; “Cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik pemelihara.”

Sebelum kembali ke Madinah Rasulullah menangkap Muawiyah bin al-Mughirah dan Abu Izzah al-Jumahi. Rasulullah pernah menawan Abu Izzah al-Jumahi pada perang Badar, namun kemudian membebas-kannya. Ia berkata; “Wahai Rasulullah, bebaskan aku!’ Rasulullah SAW., bersabda: “Tidak, demi Allah, engkau tidak akan bisa lagi membasuh kedua sisi badanmu di Makkah, dan tidak lagi bisa bekata: ‘Aku telah menipu Muhammad dua kali. Penggal lehernya wahai Zubair!” Maka Zubair pun memenggal leher Abu Izzah al-Jumahi.

Selanjutnya Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika itu Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki tempat berdiri di setiap hari Jum’at, dan tidak seorang pun yang mengingkari kemuliaannya di tengah kaumnya. Ia memang seorang yang berkedudukan di tengah mereka. Jika Rasulullah duduk dari khutbah Jum’at, Abdullah bin Ubay bin Salul berdiri dan berkata: “Wahai manusia, inilah Rasulullah di tengah-tengah kalian. Dengannya Allah memuliakan dan memenangkan kalian. Oleh karena itu tolong dan bantulah ia, dengar dan taatlah kepadanya!” Kemudian ia duduk. Setelah ia membuat ulah di Perang Uhud dan kaum muslimin kembali dari Perang Uhud, ia melakukan hal yang serupa. Namun kaum muslimin menarik bajunya dari segala sisi dan berkata kepadanya: “Duduklah hai musuh Allah! Demi Allah engkau tidak layak berbuat seperti itu lagi. Engkau telah berbuat durhaka sebelum ini.” Abdullah bin Ubay bin Salul berjalan di tengah-tengah manusa sambil berkata: “Demi Allah, aku berkata tentang suatu perkara yang besar ketika aku berdiri mengatakan urusannya (Rasulullah SAW.,).” Salah seorang dari kaum Anshar bertemu dengan Abdullah bin Ubay bin Salul di pintu masjid, kemudian berkata: “Celakalah Engkau, apa yang terjadi dengan dirimu?’ Ia menjawab: “Aku berdiri menguatkan urusannya, kemudian salah seorang dari sahabatnya meloncat ke arahku, ia menarik bajuku dan berbuat kasar kepadaku, seakan-akan aku melakukan kejahatan yang besar.” Sahabat Anshar itu berkata: “Celaka engkau, mintalah kepada Rasulullah agar memintakan ampunan untukmu.” Abdullah bin Ubay bin Salul menjawab: ‘Demi Allah, aku tidak butuh dia memintakan ampunan untukku.”

Ibnu Ishaq berkata: “Perang Uhud adalah ujian dan pembersihan. Dengannya Allah menguji kaum mukminin dan membongkar kedok orang-orang munafik yang menampakkan keimanan dengan lisan namun menyembunyikan kekafiran di hati mereka. Dan hari dimana Allah Ta’ala memuliakan para wali-Nya yang Dia kehendaki gugur sebagai syuhada’. –Habis-

Perang Uhud (1)


Setelah orang-orang kafir Quraisy menderita kekalahan di perang Badar, dengan terbunuhnya beberapa tokoh mereka dan sisanya tunggang-langgang melarikan diri kembali ke Makkah, dan Abu Sofyan tiba di Makkah dengan kafilah dagangnya, maka Abdullah bin Abi Rabi'ah, 'Ikrimah bin Abi Jahal, Shafwan bin Umayyah serta beberapa tokoh Quraisy lain yang anak, bapak dan saudara-saudara mereka tewas menja-di korban dalam perang Badar, datang menemui Abu Sofyan lalu berbi-cara kepadanya dan kepada para pedagang Quraisy yang ikut bersama-nya: “Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membi-nasakan kalian serta membunuh orang-orang terbaik kalian. Maka dari itu, bantulah kami dengan harta kalian itu untuk memeranginya. Mudah-mudahan kami dapat membalas dendam atas kematian orang-orang kita!” Abu Sofyan dan orang-orang yang bersamanya mengabulkan permintaan mereka itu.

Maka orang-orang kafir Quraisy sepakat memerangi Rasulullah SAW., setelah Abu Sofyan dan pedagang-pedagang Quraisy lainnya setuju memberi bantuan kepada mereka dengan mengikut sertakan ahabisy (kabilah-kabilah Arab di luar kabilah Quraisy yang bergabung dengan orang-orang Quraisy) yang patuh kepada mereka, antara lain kabilah Kinaanah dan penduduk Tihaamah. Mereka juga menyertakan istri-istri mereka sebagai jaminan agar mereka tidak melarikan diri dari medan perang. Abu Sofyan yang bertindak sebagai komandan perang berangkat bersama istrinya, Hindun binti Utbah. Ikrimah bin Abi Jahal berangkat bersama istrinya, Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam bin Mughirah. al-Harits bin Hisyam bin Mughirah berangkat bersama istrinya, Fathimah binti al-Walid bin al-Mughirah. Shafwan bin Umayyah berangkat bersama istrinya, Barzah binti Mas'ud ats-Tsaqafiyah. Dan ‘Amr bin al-‘Ash berangkat bersama istrinya, Biriithah binti Munabbih bin al-Hajjaj.

Pasukan Quraisy ini terus berjalan hingga tiba di dua mata air, tepat-nya di lembah sebuah gunung bernama Sabkhah, sebuah saluran air di tepi lembah tepat menghadap kota Madinah. Ketika pasukan Quraisy tiba di tempat tersebut, Rasulullah dan kaum muslimin mendengar berita kedatangan pasukan itu. Rasulullah berkata: “Demi Allah, aku tadi meli-hat mimpi yang baik. Aku lihat lembu milikku disembelih dan kulihat salah satu sisi mata pedangku sumbing. (Rasulullah berkata: "Adapun lembu itu adalah beberapa orang sahabatku yang terbunuh. Adapun sumbing yang kulihat pada salah satu sisi mata pedangku adalah salah seorang dari keluargaku yang terbunuh.")

Dan kulihat aku memasukkan tanganku ke sebuah baju perang yang kokoh, aku menakwil baju perang itu adalah kota Madinah. Rasulullah SAW., bersabda kepada para sahabat: "Jika kalian mau, tetaplah kalian tinggal di Madinah dan biarkan mereka di tempat persinggahan mereka. Jika mereka tetap berada di sana, maka tempat itu adalah tempat yang paling jelek. Dan jika mereka masuk kepada kita (di Madinah), maka kita perangi mereka di dalamnya." Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat sama dengan Rasulullah, yakni hendaknya mereka tidak keluar untuk menghadapi kaum Quraisy.

Sebenarnya Rasulullah SAW., sendiri tidak ingin keluar dari Madinah untuk menghadapi mereka. Namun beberapa orang dari kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah untuk gugur sebagai syuhada pada perang Uhud dan peperangan lainnya yang tidak ikut hadir pada perang Badar berkata: "Wahai Rasulullah, keluarlah bersama kami untuk menghadapi musuh, agar mereka tidak melihat kita sebagai orang-orang yang penge-cut dan tidak memiliki nyali untuk menghadapi mereka." Abdullah bin Ubay bin Salul berkata: "Wahai Rasulullah, tetaplah anda tinggal di Madinah dan jangan keluar ke tempat mereka. Demi Allah jika kita keluar niscaya musuh akan mengalahkan kita. Dan jika mereka masuk ke tempat kita niscaya kita akan dapat mengalahkan mereka. Biarkan mereka di tempatnya wahai Rasulullah. Jika mereka tetap berada di sana, sungguh mereka menetap di tempat yang paling jelek. Jika mereka masuk Madi-nah, mereka akan diperangi oleh kaum laki-laki dan dilempari batu oleh para wanita dan anak-anak. Dan jika mereka kembali ke negeri asalnya, mereka pulang dengan membawa kegagalan seperti ketika mereka datang."

Para sahabat yang menghendaki pertemuan dengan orang-orang Quraisy tetap berada di tempat Rasulullah SAW., hingga beliau masuk dan mengenakan baju besinya. Hari itu hari Jum'at dan peristiwa itu terjadi ketika beliau selesai mengerjakan shalat. Pada hari itu salah seorang dari kaum Anshar bernama Malik bin Amr meninggal dunia. Maka Rasulullah menshalatkannya. Setelah itu beliau keluar menemui para sahabat dan mereka semua menyesal. Mereka berkata: "Kita telah memaksa Ra-sulullah untuk keluar. Dan itu tidak pantas kita lakukan." Maka ketika Rasulullah datang menemui mereka, mereka berkata: "Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu keluar, dan itu tidak pantas kami lakukan. Jika Anda berkehendak, silakan Anda duduk kembali (tidak usah keluar dari Madinah), mudah-mudahan Allah memberi shalawat kepada Anda." Rasulullah bersabda: "Jika seorang nabi telah mengenakan baju besinya, ia tidak pantas melepasnya sampai dia berperang." Kemudian Rasulullah berangkat bersama seribu orang sahabat nabi.

Ketika Rasulullah SAW., bersama para sahabatnya tiba di Asy-Syauth, daerah antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul bersama sepertiga pengikutnya memisahkan diri dari Rasulullah. Dia berkata: "Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya dan tidak menuruti pen-dapatku. Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini?"

Setelah itu Abdullah bin Ubay bin Salul kembali ke Madinah bersama para pengikutnya, yaitu kaum munafiqin dan orang-orang yang dihinggapi keraguan. Mereka dikejar oleh Abdullah bin Amr bin Haram, yang kemudian berkata kepada mereka: "Wahai kaumku, aku ingatkan kalian kepada Allah. Hendaknya janganlah kalian menelantarkan kaum dan nabi kalian ketika mereka telah dekat dengan musuh." Mereka menjawab: "Jika kami tahu kalian akan diperangi, niscaya kami tidak akan menyerahkan kalian, namun kami mengira perang tidak akan ter-jadi." Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul dan para pengikutnya bersi-keras untuk kembali di Madinah, Abdullah bin Amr bin Haram berkata: "Hai musuh-musuh Allah, semoga Allah menjauhkan kalian dan Dia akan membuat nabiNya tidak membutuhkan kalian." Sementara itu kaum Anshar berkata: "Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak meminta bantuan kepada sekutu-sekutu kita dari kaum Yahudi?"

Rasulullah bersabda: "Kita tidak membutuhkan mereka." Rasulullah terus berjalan hingga singgah di sebuah jalan menuju gunung Uhud. Beliau menghadapkan unta dan pasukannya ke arah Uhud seraya bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian berperang sebelum aku menyu-ruhnya berperang." Sementara orang-orang Quraisy menghentikan unta dan kuda mereka pada ladang yang berada di asy-Syamghah, dekat dengan saluran kaum muslimin. Ketika Rasulullah melarang mereka ber-perang hingga beliau perintahkan, salah seorang dari kaum Anshar berka-ta: "Pantaskah tanaman-tanaman Bani Qallah dijadikan padang gembala-an sementara kami tidak diberi bagian?"

Rasulullah SAW., bersama tujuh ratus orang sahabat bersiap-siap untuk berperang. Beliau menunjuk Abdullah bin Jubair saudara Bani Amr bin Auf sebagai komandan pasukan pemanah. Ketika itu Abdullah bin Jubair diberi sandi kain berwarna putih dan pasukan pemanah berjumlah lima puluh orang. Rasulullah bersabda kepadanya: "Lindungi kami dari pa-sukan berkuda orang-orang Quraisy dengan anak panah kalian, agar me-reka tidak menyerang dari belakang kita. Jika kita menang ataupun kalah tetaplah engkau di posisimu, agar kita tidak akan diserang dari arah ka-lian!" Rasulullah merapatkan kedua baju besi beliau dan menyerahkan bendera kepada Mush'ab bin Umair saudara Bani Abdud Daar. Ketika itu Rasulullah memberikan izin kepada Samurah bin Jundub al-Fazari dan Rafi' bin Khudaij saudara Bani Haritsah untuk ikut berperang. Ketika itu keduanya baru berusia lima belas tahun. Sebelumnya beliau menyuruh keduanya kembali ke Madinah. Namun dikatakan kepada beliau: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rafi' adalah seorang pemanah yang hebat." Maka Rasulullah pun mengizinkannya ikut berperang. Dikatakan pula kepada beliau: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Samurah pernah me-ngalahkan Rafi'." Maka Rasulullah juga mengizinkannya ikut berperang. Selain itu Rasulullah memulangkan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar bin al-Katthab, Zaid bin Tsabit salah seorang dari Bani Malik bin an-Najjar, al-Bara' bin Azib dari Bani Haritsah, Amr bin Hazm dari Bani Malik bin an-Najjar, dan Usaid bin Dhuhair dari bani Haritsah, kemudian mengizinkan mereka ikut serta dalam perang Khandaq pada usia lima belas tahun.

Sementara itu kaum musyrikin berkekuatan tiga ribu tentara dan dua ratus ekor kuda yang diletakkan di samping mereka juga melakukan persiapan untuk berperang. Mereka menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan berkuda sayap kanan dan Ikrimah bin Abu Jahal sebagai komandan pasukan berkuda sayap kiri. Rasulullah SAW., bersabda: "Siapa yang siap mengambil pedang ini dengan haknya?" Beberapa orang sahabat berdiri untuk mengambilnya namun Rasulullah tidak menyerahkannya kepada seorang pun dari mereka. Abu Dujanah Simak bin Kharasyah saudara Bani Saidah berdiri seraya bertanya: "Apa haknya, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Engkau tebas musuh dengannya hingga pedang ini bengkok." Abu Dujanah berkata: "Saya siap mengambilnya dengan haknya, wahai Rasulullah." Maka Rasulullah menyerahkan pedang itu kepadanya. Abu Dujanah adalah seorang pemberani dan suka berjalan sombong di tengah peperangan jika telah meletus. Ia membuat tanda ikat kepala berwarna merah. Jika ia telah mengenakannya, maka orang-orang akan mengetahui bahwa ia akan berperang. Setelah meng-ambil pedang itu dari tangan Rasulullah, Abu Dujanah mengeluarkan ikat kepala warna merah, lalu mengenakannya di kepala dan berjalan som-bong di antara dua barisan. Ketika melihat Abu Dujanah berjalan dengan sombong Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya gaya jalan seperti itu ada-lah gaya jalan yang dibenci Allah kecuali di tempat seperti ini."

Sementara itu Abu Sofyan bin Harb berkata memprovokasi para pe-megang bendera Bani Abdid Daar: "Wahai Bani Abdid Daar, kalian ditunjuk untuk memegang bendera perang kita pada perang Badar kemu-dian kita kalah sebagaimana kalian ketahui. Sesungguhnya pasukan itu didatangi dari arah para pemegang bendera. Jika para pemegang bendera kalah maka pasukan pun akan kalah. Sekarang terserah kalian, apakah kalian tetap akan memegang bendera perang atau kalian akan melepas-kannya, dan untuk itu kami melindungi kalian." Orang-orang dari Bani Abdid Daar tertarik dengan tawaran Abu Sofyan dan berjanji kepadanya seraya berkata: "Kami serahkan bendera perang kepadamu. Besok pagi jika kita bertemu musuh, engkau akan tahu apa yang kami perbuat." Memang sikap itulah yang diinginkan Abu Sofyan dari mereka.

Ketika kedua pasukan telah bertemu, Hindun binti Utbah berdiri bersama kaum wanita lainnya, kemudian mengambil rebana dan menabuhnya di belakang pasukan kaum musyrikin untuk mengobarkan semangat mereka.

Hindun binti Utbah pun bersya'ir:
“Wahai Bani Abdud Daar,
Duhai para pembela anak keturunan,
Yang memukul dengan pedang tajam.”
Hindu binti Utbah juga bersya'ir:
“Jika kalian maju, kalian akan kami peluk
Dan kami sediakan bantal kecil untuk bersandar
Namun jika kalian mundur, kami akan berpisah dari kalian dengan perpisahan yang tidak menyenangkan.”

Sedangkan kode kaum muslimin di perang Uhud adalah amit, amit.

Kedua pasukan pun bertempur hingga perang berkecamuk. Abu Dujanah bertempur hingga berada di tengah-tengah antara dua pasukan yang sedang berperang. Ia membunuh siapa saja yang ditemuinya. Di pihak kaum musyrikin terdapat seorang yang tidak membiarkan seorang pun yang terluka dari kaum muslimin kecuali dia membunuhnya seka-ligus. Orang musyrik tersebut mendekati Abu Dujanah. Maka aku pun (az-Zubair bin Awwam -pent) berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Dia mempertemukan keduanya. Ternyata benar, keduanya pun bertemu dan saling menyerang. Orang musyrik itu memukul Abu Dujanah, namun perisai kulit melindungi Abu Dujanah dan menahan pedang orang tersebut. Kemudian Abu Dujanah memukulnya hingga tewas. Setelah itu Abu Dujanah mengayunkan pedangnya ke atas belahan rambut Hindun binti Utbah, namun kemudian ia menurunkan pedangnya kembali.

Abu Dujanah berkata: “Saya melihat manusia menyayati tubuh kor-ban dengan sayatan-sayatan, maka aku pun menghampirinya dan mengarahkan pedang kepadanya. Ternyata dia adalah seorang wanita, aku pun menghormati pedang Rasulullah untuk tidak membunuh dengannya se-orang wanita.”

Sementara itu Hamzah bin Abdul Muthalib bertempur hingga berha-sil membunuh Artha'ah bin Abdu Syurahbil bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdiddaar. Ia adalah salah seorang pembawa berdera kaum musyrikin. Setelah itu Siba' bin Abdul 'Uzza al-Ghubsyani yang biasa dipanggil Abu Niyar berjalan melewati Hamzah bin Abdul Muthalib. Hamzah berkata: "Kemarilah wahai anak pemutus kelentit!" Ibu Siba' adalah seorang tukang khitan di Makkah.

Wahsyi, budak Jubair bin Muth'im berkata: "Demi Allah, aku lihat Hamzah bin Abdul Muthalib membunuh orang-orang Quraisy dengan pedangnya dan tidak menyisakan seorang pun. Aku lihat ia seperti unta yang belang-belang putih dan hitam. Tiba-tiba' Siba' bin Abdul Uzza lebih cepat kepada Hamzah bin Abdul Muthalib daripadaku. Hamzah berkata: "Kemarilah!" (Hamzah memanggilnya dengan panggilan yang jelek) Setelah itu hamzah memukul Siba' bin Abdul Uzza tepat di kepalanya. Aku pun menggerak-gerakkan tombakku hingga ketika aku merasa telah siap, aku melempar-kannya ke arah Hamzah bin Abdul Muthalib dan tepat mengenai bagian bawah perutnya dan tombakku keluar di antara kedua kakinya. Hamzah bin Abdul Muthalib berusaha berjalan ke arahku namun tidak sanggup dan akhirnya terjatuh. Aku membiarkannya beberapa waktu, hingga ketika yakin ia telah mati aku mengambil tombakku dan kembali ke barak. Aku tidak mempunyai tujuan lain selain membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib karena aku ingin menjadi orang merdeka.

Ketika aku tiba di Makkah aku langsung dimerdekakan. Selanjutnya aku tetap berdomisili di Makkah, hingga ketika Rasulullah berhasil menaklukkan Makkah, aku pun lari ke Thaif dan tinggal di sana. Ketika delegasi Thaif pergi mene-mui Rasulullah untuk menyatakan masuk Islam tiba-tiba terasa gelap semua jalan bagiku. Aku berkata pada diriku: "Aku akan pergi ke Syam atau Yaman atau negara lain." Demi Allah, aku resah karena itu. Namun tiba-tiba seseorang berkata kepadaku: "Celakalah engkau, demi Allah, dia (Rasulullah -pent) tidak akan membunuh seseorang yang masuk dalam agamanya dan bersaksi dengan persaksian yang benar." Mendengar per-kataan orang itu aku pun ikut bersama orang-orang pergi menemui Ra-sulullah di Madinah. Tidak ada yang lebih menakutkan diriku kecuali berdiri di hadapan beliau dan bersaksi dengan persaksian yang benar. Ketika Rasulullah melihatku, beliau bersabda: "Apakah engkau Wahsyi?" "Betul, wahai Rasulullah." Jawabku. Selanjutnya beliau bersabda: "Du-duklah, dan ceritakan kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah!" Setelah selesai aku menceritakan peristiwa itu, beliau bersabda: "Celaka engkau, sembunyikan wajahmu dariku! Aku tidak ingin melihatmu lagi." Maka aku pun pergi, dan aku berharap semoga Rasulullah tidak melihat-ku lagi hingga beliau diwafatkan oleh Allah.

Di sisi lain, Mush'ab bin Umair bertempur melindungi Rasulullah. Ia dibunuh oleh Qami'ah al-Laitsi karena ia sangka Rasulullah. Setelah membunuh Mush'ab bin Umair, ia kembali ke Makkah dan berkata: "Aku telah membunuh Muhammad." Ketika Mush'ab bin Umair gugur, Ra-sulullah menyerahkan berdera kepada Ali bin Abi Thalib yang kemudian bertempur bersama beberapa orang dari kaum muslimin. Ketika perang tengah berkecamuk, Rasulullah duduk di bawah bendera orang-orang Anshar dan menyuruh seseorang untuk menemui Ali bin Abi Thalib dengan membawa pesan hendaknya Ali bin Abi Thalib maju dengan membawa bendera perang. Maka ia pun maju sambil berkata: "Aku adalah Abul Qusham." { pendekar pembawa bencana. Dia mengatakan seperti itu karena sebagai jawaban terhadap Abu Sa’ad yang mengatakan “Ana Qashim” (Saya pembawa bencana).}

Abu Sa'ad bin Abi Thalhah, pembawa bendera kaum musyrikin berseru: "Wahai Abul Qusham, apakah engkau bersedia perang tanding denganku?" Ali bin Abi Thalib menjawab: "Ya." Kemudian keduanya melakukan perang tanding di antara barisan kaum muslimin dan barisan kaum musyrikin. Keduanya saling mengayunkan pedang dan akhirnya Ali bin Abi Thalib berhasil menebas Abu Sa'ad bin Abi Thalhah hingga terluka. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib pergi dan tidak membunuhnya. Para sahabat pun bertanya: "Mengapa engkau tidak membunuhnya seka-ligus?" Ali bin Abi Thalib menjawab: "Ia datang kepadaku dengan kehor-matannya dan aku merasa iba kepadanya karena hubungan kekerabatan antara aku dengannya. Dan setelah itu aku tahu bahwa Allah Ta’ala telah me-matikannya.

Sementara itu Ashim bin Tsabit bin Abi Aqlah bertempur habis-habisan dan berhasil membunuh Musafi' bin Thalhah dan saudaranya al-Julas bin Thalhah. Keduanya terkena anak panah Ashim bin Tsabit. Sebelum menemui ajalnya, salah seorang dari keduanya menemui ibunya yang bernama Sulafah dan meletakkan kepala di pangkuannya. Sulafah berkata: "Anakku, siapa yang melukaimu?" Ia menjawab: "Ketika sese-orang melemparku dengan anak panah, aku dengar ia berkata: "Ambillah ini, aku anak Abu Abi Aqlah." Sulafah pun bernadzar jika Allah membe-rinya kesempatan untuk melihat kepala Ashim bin Tsabit, ia akan menyi-ramnya dengan minuman keras.

Handhalah bin Abu Amir al-Ghasil (yang dimandikan para malai-kat) bertemu dengan Abu Sofyan bin Harb di perang Uhud. Ketika Handhalah bin Abi Amir dapat mengatasi perlawanan Abu Sofyan bin Harb, tiba-tiba Syaddad bin Al-Aswad –anak Syu'ub– melihatnya lalu memukul Handhalah bin Abi Amir hingga gugur. Rasulullah SAW., bersabda: "Sungguh sahabat kalian, Handhalah, pasti akan dimandikan para malai-kat." Ketika para sahabat menanyakan perihal Handhalah kepada istrinya: "Ada apa dengan Handhalah bin Abi Amir?" Istrinya menjawab bahwa Handhalah bin Abi Amir keluar dari rumah dalam keadaan junub ketika mendengar panggilan jihad.

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan pertolongan kepada kaum muslimin dan menepati janjiNya kepada mereka. Kaum muslimin berhasil membunuh orang-orang musyrik dengan pedang-pedang mereka dan berhasil membobol pertahanan musuh. Kekalahan menimpa kaum musy-rikin dan tidak terelakkan.

Az-Zubair berkata: "Demi Allah, aku lihat gelang kaki Hindun binti Utbah dan teman-temannya tercecer dan tidak diambil sedikit pun. Tiba-tiba pasukan pemanah turun ke barak ketika kami berhasil membobol pertahanan musuh dan membiarkan punggung kami berada di depan pasukan berkuda musuh. Akhirnya kami diserang oleh pasukan berkuda musuh dari arah belakang, dan seseorang berseru: "Sesungguhnya Mu-hammad telah terbunuh." Maka musuh pun berhasil mengalahkan kami setelah sebelumnya kami berhasil mengalahkan para pemegang bendera mereka hingga tak seorang pun yang berani mendekat. Bendera Quraisy yang terjatuh kemudian diambil oleh Amrah binti al-Qamah al-Hari-tsiyah dan diangkatnya tinggi-tinggi kepada orang-orang Quraisy yang kemudian berkumpul di sekitarnya.

Pertahanan kaum muslimin jebol, dan mereka diserang oleh musuh. Hari itu adalah hari ujian dan hari pembersihan. Allah memuliakan kaum muslimin dengan memberikan kepada mereka kesempatan mati syahid. Karena pertahanan kaum muslimin telah terbuka, maka musuh berhasil masuk ke tempat Rasulullah SAW., kemudian melempar beliau dengan batu hingga terjatuh dalam keadaan miring. Batu tersebut mengenai gigi seri, melukai wajah dan bibir beliau. Orang yang melempar beliau dengan batu itu adalah Utbah bin Abi Waqqash. Darah pun mengalir di wajah beliau. beliau mengusapnya seraya bersabda; 'Bagaimana suatu kaum bisa bahagia, sedang mereka melukai wajah nabi mereka. Padahal ia mengajak mereka kepada Rabb mereka.”

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, kare-na sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (Ali Imran: 128)

Abu Sa’id Al-Khudri RA., berkata bahwa pada perang Uhud, “Utbah bin Abi Waqqash melempar Rasulullah hingga memecahkan gigi seri sebelah kanan bagian bawah dan juga melukai bibir beliau. Abdullah bin Syihab az-Zuhri melukai kening beliau. Ibnu Qami’ah melukai bagian atas pipi yang menonjol hingga dua buah mata rantai besi masuk ke bagian atas pipi beliau. Rasulullah terjatuh ke dalam salah satu lubang yang dibuat oleh Abu Amir agar kaum muslimin terperosok ke dalamnya tanpa mereka sadari. Kemudian Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau dan Thalhah bin Ubaidillah mengangkat beliau hingga bisa tegak berdiri. Malik bin Sinan yakni Abu Sa’id al-Khudri mengusap darah dari wajah beliau dan menelannya. Kemudian Rasulullah bersabda: “Barang-siapa yang darahnya menyentuh darahku, niscaya ia tidak akan disentuh api Neraka.”

Ketika Rasulullah SAW., dikepung oleh orang-orang Quraisy, beliau bersabda: “Siapa yang siap mengorbankan nyawanya untukku?” Ziyad bin as-Sakan berdiri bersama lima orang dari kaum Anshar. Mereka bertempur habis-habisan melindungi Rasulullah hingga satu persatu me-reka gugur sebagai syuhada. Dan orang yang terakhir gugur dari mereka adalah Ziyad atau Umarah yang bertempur hingga terluka parah. Ketika dalam keadaan seperti itu datanglah serombongan kaum muslimin yang akhirnya berhasil mengusir orang-orang musyrik dari sekitar Rasulullah. Kemudian beliau bersabda: “Dekatkan ia kepadaku!” Lalu mereka pun mendekatkannya kepada Rasulullah yang kemudian menjadikan kaki be-liau sebagai bantalnya. Akhirnya Ziyad bin as-Sakan meninggal sedang pipinya berada di atas kaki Rasulullah.

Sahabat yang pertama kali melihat Rasulullah SAW., setelah kekalahan mereka dan ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa beliau telah gugur adalah Ka’ab bin Malik. Ia berkata: “Aku melihat kedua mata Rasulullah yang suci bersinar dari bawah perisai kepala. Kemudian aku berteriak sekeras-kerasnya: ‘Wahai seluruh kaum muslimin, bergembira-lah kalian. Inilah Rasulullah.’ Rasulullah memberikan isyarat kepadaku agar aku diam.” –Bersambung-

Beberapa Kejadian Menjelang Perang Uhud


Perang Bani Sulaim di Al-Kudr

Tujuh hari setelah Rasulullah SAW., tiba di Madinah dari perang Badar, beliau kembali keluar hendak menyerbu Bani Suleim (Beliau menunjuk Siba' bin 'Arfathah Al-Ghifari sebagai imam sementara di Madinah. Ada yang mengatakan: Ibnu Ummi Kaltsum). Sampailah beliau di salah satu mata air mereka bernama Al-Kudr. Beliau singgah di sana selama tiga hari kemudian kembali ke Madinah tanpa mendapat halangan yang berarti. Setelah itu, beliau menetap di Madinah pada bulan Syawal dan Dzulqa'dah, dalam dua bulan itu Rasulullah menyelesaikan urusan penebusan seluruh tawanan Quraisy.

Perang As-Sawiq

Kemudian Abu Sofyan bersama pasukannya berangkat ke pepe-rangan As-Sawiq (Disebut perang As-Sawiq karena anggota pasukan banyak membawa sawiq. Kaum muslimin dapat melumpuhkan pasukan sawiq ini. Sawiq adalah tepung gandum, biasanya dimakan bersama susu, madu, minyak samin atau air) pada bulan Dzulhijjah. Pada musim haji tahun ini kaum musyrikin memimpin pelaksanaan haji. Pasalnya, ketika Abu Sofyan kembali ke Makkah dan dalam waktu yang bersamaan pasukan Quraisy yang kalah perang kembali dari Badar. Ia bernazar tidak akan mandi junub (Mandi junub termasuk perkara yang diamalkan pada zaman jahiliyah seperti halnya haji dan nikah) hingga menyerang Muhammad SAW. Ia pun keluar bersama dua ratus pasukan berkuda demi melaksanakan nazarnya itu. Ia berjalan melewati An-Najdiyah, kemudian singgah di sebuah gunung bernama Tsaib, jaraknya kira-kira satu barid (lebih kurang 12 mil) dari Madinah.

Kemudian ia berjalan hingga tiba di perkampungan Bani Nadhir pada malam hari. Ia menuju rumah Huyai bin Akhthab dan mengetuk pintu rumahnya. Namun Huyai tidak mau membukakan pintu karena takut kepadanya. Lalu ia beralih menuju rumah Sallam bin Misykam, salah seorang pemimpin Bani Nadhir pada zamannya dan pemegang kun-ci harta perbendaharaan mereka. Abu Sofyan meminta izin dan Sallam bin Misykam mengizinkannya masuk. Sallam menjamunya dengan baik dan memberinya informasi tentang keadaan kaum muslimin di Madinah. Pada malam itu juga Abu Sofyan kembali ke pasukan lalu mengutus beberapa orang anggota pasukannya ke Madinah. Mereka mengendap menuju ke salah satu sudut kota Madinah bernama Al-'Ureidh. Mereka membakari pohon-pohon kurma, kemudian mereka bertemu dengan seorang lelaki Anshar dengan seorang sekutunya di kebun kurma itu. Mereka membunuh keduanya lalu kembali ke tempat mereka semula.

Namun kaum muslimin mencium keberadaan pasukan Quraisy ini. Rasulullah SAW., segera mengejar mereka. Beliau menunjuk Basyir bin Abdul Mundzir untuk menggantikan beliau di Madinah. Beliau mengejar mereka sampai di Qarqarah Al-Kudr kemudian beliau kembali. Abu Sofyan dan pasukannya berhasil luput dari pengejaran tersebut. Pasukan kaum muslimin melihat sisa-sisa bekal pasukan Quraisy itu berserakan di kebun kurma. Pasukan Quraisy itu sengaja mengurangi bekal mereka agar mudah melarikan diri. Ketika Rasulullah SAW., kembali bersama pasukan, para sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, apakah tuan berkehen-dak membawa kami menuju peperangan?" "Ya!" jawab Rasulullah.

Perang Dzi Amar

Sekembalinya dari peperangan As-Sawiq Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Dzulhijjah atau hampir sebulan. Kemudian setelah itu beliau keluar bersama pasukan menuju Nejed hendak menyerang Ghathfaan. Peperangan ini lebih dikenal dengan sebutan perang Dzi Amar (Ketika itu beliau menunjuk Utsman bin Affan sebagai pengganti beliau di Madinah).

Beliau menetap di Nejed selama bulan Shafar, kemudian kembali ke Madinah tanpa mendapat halangan apapun. Beliau menetap di Madinah hingga akhir bulan Rabi'ul Awal atau menetap selama beberapa hari di bulan Rabi'ul Awal di Madinah.

Perang Al-Furu’ di Bahraan

Kemudian Rasulullah SAW., berangkat bersama pasukan hendak menye-rang kaum Quraisy (Beliau menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti beliau di Madinah). Setibanya di Bahraan, sebuah pertambangan yang terletak di Hijaz tepatnya di wilayah Furu'. Beliau berada di sana selama bulan Rabi'ul Akhir sampai Jumadil Awal. Kemudian beliau kembali ke Madinah tanpa menemui hambatan sedikitpun.

Kasus Bani Qainuqa’

Kasus Bani Qainuqaa' ini adalah: Seorang wanita Arab datang de-ngan membawa barang dagangannya untuk dijual di pasar Bani Qainu-qaa'. Ia duduk bersebelahan dengan tukang emas dan perak. Orang-orang Yahudi bani Qainuqaa' di pasar itu memaksanya agar membuka penutup wajahnya, namun wanita itu menolak. Lalu si tukang emas mengikat ujung kain bajunya ke punggungnya. Ketika wanita itu berdiri, tersing-kaplah auratnya. Melihat kejadian itu orang-orang Yahudi Bani Qainu-qaa' tertawa terpingkal-pingkal. Wanita muslimah itu berteriak minta tolong, lalu seorang lelaki muslim datang menyerang tukang emas itu dan membunuhnya, tukang emas itu adalah seorang Yahudi. Orang-orang Yahudi balik menyerang lelaki muslim itu dan mereka membunuhnya. Keluarga lelaki muslim yang terbunuh itu berteriak memanggil kaum muslimin sembari menyebutkan perlakuan orang-orang Yahudi tersebut. Mendengar pengakuannya, kaum muslimin pun marah besar kemudian terjadilah pertumpahan darah antara mereka dan Yahudi bani Qainuqaa'.

Yahudi bani Qainuqaa' adalah kelompok Yahudi pertama yang membatalkan perjanjian dengan Rasulullah SAW. Rasulullah mengepung mereka hingga mereka menerima keputusan beliau. Setelah Allah mem-beri kemenangan bagi Rasulullah atas bani Qainuqa', Abdullah bin Ubay bin Salul datang menghadap beliau dan berkata: "Hai Muhammad, berla-ku baiklah kepada sekutuku!"

Namun Rasulullah tidak mengacuhkan perkataannya sehingga Abdullah bin Ubay mengulangi perkataannya untuk kedua kali: "Hai Muhammad, berlaku baiklah kepada sekutuku!"

Rasulullah berpaling darinya. Kemudian Abdullah bin Ubay mero-gohkan tangannya ke saku baju perang Rasulullah. Rasul berkata kepada-nya: "Serahkan mereka kepadaku!"

Melihat sikapnya itu Rasulullah SAW., marah hingga terlihat kemarahan pada raut wajah beliau. Beliau berkata lagi: "Celakalah engkau, serah-kanlah mereka kepadaku!"

Abdullah bin Ubay menjawab: "Demi Allah tidak, aku tidak akan menyerahkan mereka kepadamu hingga engkau berlaku baik kepada sekutuku! Empat ratus pasukan tanpa baju perang dan tiga ratus pasukan berbaju perang telah melindungiku dari serangan orang Arab dan ajam (non Arab). Lalu engkau ingin menumpas mereka sekaligus!? Demi Allah aku adalah orang yang paling takut musibah!"

Maka Rasulullah pun berkata kepadanya: "Mereka menjadi milikmu!"

Kemudian Ubadah bin Shamit R.A., datang menghadap Rasulullah. Ia juga mengikat perjanjian persekutuan dengan Yahudi bani Qainuqaa' seperti halnya Abdullah bin Ubay bin Salul. Namun ia menyerahkan urusan mereka sepenuhnya kepada Rasulullah dan berlepas diri kepada Allah dan RasulNya dari ikatan persekutuan tersebut. Ubadah berkata: "Wahai Rasulullah, aku berpihak kepada Allah, RasulNya dan kaum mukminin. Dan aku berlepas diri dari persekutuan dengan orang-orang kafir itu dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka!

Berkenaan dengan peristiwa Abdullah bin Ubay ini turunlah ayat berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat benca-na’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepa-da RasulNya), atau sesuatu keputusan dari sisiNya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasia-kan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan me-ngatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasannya mereka benar-benar beserta kamu" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. Hai orang-orang yang beriman, barang-siapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendakiNya, dan Allah Maha Luas (pembe-rianNya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah: 55)

Dalam ayat disebutkan loyalitas Ubadah bin Shamit R.A., kepada Allah, RasulNya dan kaum mukminin serta sikap berlepas dirinya dari Yahudi bani Qainuqaa', dari persekutuan dan perlindungan mereka!

“Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56)

Pasukan Zaid bin Haritsah ke Al-Qaradah, Sebuah Mata Air di Nejed
Latar belakang pengiriman pasukan ini adalah: Kaum Quraisy merasa jalur yang biasa mereka lalui ke negeri Syam tidak aman setelah kekalahan mereka di perang Badar. Oleh karena itu mereka menempuh jalur Iraq. Kemudian berangkatlah kafilah dagang mereka, termasuk di dalamnya Abu Sofyan bin Harb yang membawa perak sangat banyak. Perak-perak itu merupakan barang dagangan utama mereka. Mereka menyewa seorang lelaki dari Bani Bakr bin Wa’il yang bernama Furaat bin Hayyan untuk menjadi pemandu perjalanan mereka.

Maka Rasulullah SAW., mengirim Zaid bin Haritsah R.A,., untuk meng-hadang mereka di mata air tersebut. Pasukan Zaid bin Haritsah berhasil mengalahkan kafilah Quraisy tersebut dan menguasai barang dagangan mereka namun mereka tidak berhasil menangkap anggota-anggota kafilah itu. Lalu Zaid bin Haritsah membawa barang-barang dagangan itu ke hadapan Rasulullah.

Peperangan Badar al-Kubra (3)


Setelah memperoleh kemenangan Rasulullah mengutus Abdullah bin Rawahah untuk menyampaikan kabar gembira kepada penduduk 'Aliyah dan Zaid bin Haritsah kepada penduduk Saafilah. Kemudian beliau bergegas kembali ke Madinah dengan membawa para tawanan. Diantara mereka terdapat Uqbah bin Abi Mu'aith dan An-Nadhr bin Al-Harits. Beliau juga membawa harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum musyrikin. Beliau memerintahkan Abdullah bin Ka'ab bin Amru bin 'Auf untuk mengawalnya.

Beliau berjalan hingga sampai di Mudhayyiq Shafraa' beliau singgah di sebuah bukit kecil antara Mudhayyiq dan Naziyah. Di situlah beliau membagi-bagikan harta rampasan perang yang Allah berikan kepada kaum muslimin. Beliau membaginya sama rata.

Kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Rau-ha' beliau bertemu dengan sebagian kaum muslimin yang mengucapkan selamat atas kemenangan yang diberikan Allah kepada beliau bersama pasukan. Salamah bin Salamah berkata: "Ucapan selamat apakah yang kalian tujukan buat kami?! Demi Allah kami hanyalah menghadapi kaum yang lemah seperti unta-unta yang tertambat lalu kami datang menyem-belihinya!"

Rasulullah hanya tersenyum mendengar perkataan tersebut. Kemu-dian beliau berkata: "Hai saudaraku, mereka adalah kelompok yang besar!"

Setibanya di Ash-Shafraa', An-Nadhr bin Al-Harits dibunuh, Ali bin Abi Thaliblah yang melaksanakan tugas membunuhnya. Kemudian pasukan kembali bergerak, setibanya di 'Irq Zhabiyyah giliran Uqbah bin Abi Mu'aith yang dibunuh. Ketika Rasulullah SAW., memerintahkan agar membunuhnya, ia berkata: "Untuk siapakah mata pedang ini hai Muhammad?"

"Untuk Neraka!" jawab beliau.

'Ashim bin Tsabit bin Abi Aqlah Al-Anshari yang melaksanakan tugas membunuhnya. Kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah sehari sebelum rombongan yang membawa tawanan tiba. Ketika para tawanan datang, beliau membagi-bagikannya kepada para sahabat. Beliau berpesan agar berbuat baik terhadap para tawanan.

Orang Quraisy pertama yang sampai di Makkah setelah kekalahan itu ialah Al-Haisumaan bin Abdulllah.

Orang-orang Quraisy meratapi para korban yang gugur. Kemudian mereka berkata: "Jangan meratap seperti itu, jangan sampai Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendengar ratapan kita sehingga mereka bergembira mendengarnya. Jangan utus seorang pun untuk menebus tawanan kalian. Tundalah niat kalian itu. Jangan sampai Muhammad dan sahabat-sahabatnya menekan kalian dalam penebusan tawanan tersebut!"

Dalam peperangan itu Al-Aswad bin Al-Muthalib kehilangan tiga orang anaknya: Zam'ah bin Al-Aswad, Uqeil bin Al-Aswad dan Al-Harits bin Zam'ah. Ia ingin sekali meratapi anak-anaknya itu. Tiba-tiba pada suatu malam ia mendengar suara ratapan. Pada saat itu pandangannya sudah lemah, ia berkata kepada seorang budaknya: "Coba lihat siapakah yang meratap itu? Apakah orang-orang Quraisy sedang meratapi korban-korban mereka yang gugur? Biar aku menangisi Abu Hakimah –yakni Zam'ah- karena dadaku sudah sesak rasanya! Sekembalinya si budak tadi ia berkata: "Itu hanyalah tangisan seorang wanita yang kehilangan untanya?" Saat itulah Al-Aswad melantunkan syair dukanya:

Apakah wanita itu menangisi untanya yang hilang
Hingga ia tidak bisa tertidur pulas?
Jangan tangisi unta itu tangisilah para korban perang Badar
Tangisilah Bani Husheish, Makhzum dan keluarga Abul Walid
Tangisilah Uqeil dan Harits singa milik Al-Aswad
Tangisilah mereka semua janganlah engkau jemu!
Sungguh Abu Hakimah memang tiada tandingannya!


Kemudian kaum Quraisy mengutus orang untuk menebus para tawanan. Mereka mengutus Mikraz bin Hafsh untuk menebus Suheil bin Amru. Setelah Mikraz mengemukakan maksudnya dan disetujui oleh kaum muslimin, mereka berkata: "Berikanlah tebusannya?" Mikraz ber-kata: "Ikatlah kakiku sebagai ganti dirinya, dan bebaskanlah dia hingga ia memberikan tebusannya kepada kalian. Maka kaum muslimin pun mem-bebaskan Suheil dan mengikat Mikraz sebagai gantinya.

Pada saat itu Umar bin Al-Khatthab RA., berkata kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, izinkanlah aku menanggalkan giginya dan memotong lidahnya agar ia tidak bisa lagi menjelek-jelekkan dirimu!" Rasulullah SAW., berkata: "Aku tidak akan merusak dirinya sehingga Allah akan merusak diriku, meskipun aku seorang nabi."

Di antara para tawanan terdapat Abul Ash bin Ar-Rabi' bin Abdil Uzza, mantan menantu Rasulullah, bekas suami putri beliau, Zainab RA.,. Islam telah memisahkan mereka berdua. Hanya saja dahulu Rasulullah SAW., tidak kuasa memisahkan mereka berdua. Zainab yang ketika itu sudah memeluk Islam masih tetap hidup bersama Abul Ash yang masih musy-rik. Hingga Rasulullah berhijrah ke Madinah. Ketika pasukan Quraisy be-rangkat ke peperangan Badar, Abul Ash bin Ar-Rabi' ikut bersama pa-sukan. Pada peperangan ini ia tertawan. Di Madinah ia berada di bawah pengawasan Rasulullah.

Ketika penduduk Makkah mengutus orang-orang mereka untuk me-nebus tawanan, Zainab binti Rasulullah SAW., meminta agar Abul Ash dibe-baskan dengan tebusan sejumlah harta. Zainab menyerahkan kalungnya yang dihadiahkan oleh Khadijah saat ia berumah tangga dengan Abul Ash. Melihat itu hati Rasulullah pun luluh, lalu beliau berkata: "Jika kalian setuju membebaskan Abul Ash dan mengembalikan kalung ini kepada Zainab, maka lakukanlah." Para sahabat berkata: "Kami setuju wahai Rasulullah, bebaskanlah Abul Ash dan kembalikanlah kalung itu kepada Zainab."

Lalu Abul Ash kembali ke Makkah, sementara Zainab tinggal ber-sama Rasulullah di Madinah. Islam telah memisahkan keduanya. Hingga menjelang penaklukan kota Makkah, Abul Ash berangkat berniaga ke negeri Syam. Ia adalah orang yang terpercaya. Ia membawa harta da-gangannya dan harta dagangan milik orang-orang Quraisy yang diinves-tasikan kepadanya. Setelah selesai berniaga dan hendak kembali ke Makkah, ia dihadang oleh pasukan Rasulullah SAW., dan merampas harta benda yang dibawanya. Abul Ash sendiri melarikan diri karena tidak mampu melawan. Sekembalinya pasukan dengan membawa harta yang baru mereka rampas, Abul Ash diam-diam datang ke Madinah pada malam hari. Ia menemui Zainab binti Rasulullah dan meminta perlindungan kepadanya, Zainab pun melindunginya. Ia ceritakan bahwa tujuannya adalah mengambil kembali hartanya yang dirampas. Pagi harinya ketika Rasulullah mulai mengerjakan shalat Shubuh bersama para sahabat, tiba-tiba Zainab berteriak dari tengah shaf: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah melindungi Abul Ash bin Ar-Rabi'. Selesai shalat Rasulullah berkata: "Apakah kalian dengar teriakan itu?"

"Kami mendengarnya!" jawab sahabat.

Rasulullah berkata: "Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, aku tidak tahu menahu soal itu hingga mendengarnya tadi sebagaimana yang kalian dengar. Sesungguhnya wajib melindungi orang yang dilindungi oleh seorang muslim meski serendah apapun derajatnya."

Kemudian Rasulullah menemui putrinya dan berkata: "Wahai putri-ku, muliakanlah dia, namun janganlah mendekatinya karena ia tidak halal bagimu."

Abdullah bin Abi Bakar menuturkan kisahnya: "Rasulullah SAW., mengutus pasukan yang merampas harta benda milik Abul Ash. Rasulullah berkata kepada mereka: "Lelaki ini (Abul Ash) dalam perlindungan kami sebagaimana yang kalian ketahui, dan kalian telah merampas hartanya. Jika kalian berbaik hati mengembalikan harta yang kalian rampas maka kami sangat mensyukurinya. Jika kalian menolak maka itu merupakan harta fa'i yang Allah berikan kepada kalian. Kalian lebih berhak terhadapnya." Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, kami akan mengembalikannya."

Maka mereka pun mengembalikannya. Ada yang mengembalikan timba, ada yang mengembalikan tempat air, ada yang mengembalikan bejana kulit, bahkan ada yang mengembalikan kayu pemikul karung. Mereka mengembalikan seluruh harta bendanya tanpa ada satupun yang tertinggal. Lalu Abul Ash membawanya ke Makkah dan menyerahkannya kepada pemiliknya dan kepada orang yang telah menanamkan modal kepadanya. Kemudian ia berkata: "Wahai sekalian kaum Quraisy, adakah orang yang belum mengambil harta yang dititipkannya kepadaku?"

"Tidak ada, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, engkau adalah orang yang amanat lagi mulia!" jawab mereka.

Abul Ash melanjutkan perkataannya: "Sesungguhnya aku telah bersaksi tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya! Demi Allah tidak ada perkara yang menghalangiku masuk Islam di hadapan beliau melainkan aku khawatir kalian akan menuduhku sebagai orang yang ingin mengambil secara tidak sah harta orang lain. Setelah aku mengembalikannya kepada kalian dan sudah selesai urusan di antara kita, maka aku pun menyatakan ke-Islamanku!"

Kemudian ia meninggalkan Makkah dan pergi menemui Rasulullah.

Di antara para tawanan yang kami ketahui namanya dan diberi pengampunan selain Abul Ash bin Ar-Rabi' adalah Al-Muthalib bin Hanthab, Shaifi bin Abi Rifaa'ah, Abu Azzah Amru bin Abdillah bin Utsman bin Uhaiib bin Hudzafah bin Jumah, ia adalah seorang fakir dan banyak memiliki anak perempuan. Ia datang menghadap Rasulullah dan berkata: "Wahai Rasulullah, engkau tahu aku tak punya harta, aku adalah orang miskin dan banyak anak, bebaskanlah diriku." Maka Rasulullah pun membebaskannya dan mengambil janji darinya supaya ia tidak membantu seorang pun dalam memusuhi Rasulullah.

Abu Azzah memuji Rasulullah dan menyebutkan keutamaan beliau di tengah kaumnya dalam sebuah syair:

Siapakah yang sudi mengabari dariku
tentang Muhammad Rasulullah,
tentang penguasa yang terpuji,
sesungguhnya seruanmu adalah hak
engkau menyeru kepada kebenaran dan hidayah
Cukuplah Allah Yang Maha Agung menjadi saksinya
Engkaulah orang yang memiliki kedudukan yang tinggi
Siapa saja yang engkau perangi niscaya akan celaka
Dan siapa saja yang engkau lindungi niscaya akan bahagia


Tebusan kaum musyrikin ketika itu seribu sampai empat ribu dirham untuk satu orang. Kecuali yang tidak memiliki harta, Rasulullah SAW., mengampuni mereka.

Peserta perang Badar dari kalangan Muhajirin yang diberi bagian harta rampasan perang berjumlah delapan puluh tiga orang. Peserta perang Badar dari kalangan suku Aus yang diberi bagian harta rampasan perang berjumlah enam puluh satu orang. Dan peserta perang Badar dari kalangan suku Al-Khazraj berjumlah seratus tujuh puluh orang.

Jumlah keseluruhan peserta perang Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang diberi bagian harta rampasan perang adalah tiga ratus empat belas orang. –Habis-